Status Bulog Bikin Sulit Berkompetisi Melawan Pedagang

- 6 Maret 2023, 18:09 WIB
PETUGAS memberikan beras murah kepada warga pada operasi pasar beras medium di Lapang Gasmin, Antapani, Kota Bandung, beberapa waktu lalu.
PETUGAS memberikan beras murah kepada warga pada operasi pasar beras medium di Lapang Gasmin, Antapani, Kota Bandung, beberapa waktu lalu. /DENI ARMANSYAH/KONTRIBUTOR "PR"

 

KORAN PR - INDONESIA seharusnya mengalami surplus beras jika merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Oktober 2022 luas panen diperkirakan 1,61 juta hektare atau naik 1,87 persen dibanding 2021. Berdasarkan total produksi beras diperkirakan mencapai 32,07 ton atau meningkat 2,29 persen dibanding 2021.

Menipisnya cadangan beras pemerintah (CBP) bisa jadi akibat kelalaian Perum Bulog yang terlambat membeli beras petani yang seharusnya dilakukan empat bulan lalu.

“Empat bulan lalu harga gabah kering panen, berada di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Seharusnya, saat harga lebih murah, pemerintah dalam hal ini Bulog membeli sebanyak mungkin beras petani, sebelum harga naik melebihi ambang batas HPP,” kata Guru Besar IPB Universityn Dwi Andreas seperti dilaporkan kontributor “PR” R Noviansyah, Minggu 5 Maret 2023.

Menurut Dwi, menipisnya CBP sudah terlihat sejak Juni 2022. Saat itu, stok beras di Bulog hanya sekitar 1 juta ton. Padahal tahun-tahun sebelumnya, stok beras bulan Juli telah menyentuh 2 juta ton.

Selain itu, Dwi menilai, Bulog tidak maksimal dalam penyerapan beras ketika gabah kering panen (GKP) berada di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yang terjadi pada Maret, April, Mei dan Juni 2022. Harga gabah terus melonjak sejak Juli yang mencapai Rp4.783 per kilogram, lalu Agustus Rp5.057 per kilogram dan September menyentuh Rp5.288 per kilogram.

“Pekan lalu, harga gabah kering panen (GKP) sudah meningkat ke kisaran Rp5.200-5.700/kg,” katanya.

Tren kenaikan GKP itu membuat Bulog tidak bisa menyerapdi lapangan karena sudah melampaui HPP. "Oktober turun menjadi Rp5.118 per kilogram. Kenapa turun, karena memang panen pas hujan, jadi kualitas gabah menurun. Dari itu semua, sudah jelas tidak akan mungkin lagi Bulog menyerap karena harga sudah jauh di atas HPP," kata Dwi Andreas.

Menurut Dwi, tren harga beras saat ini mirip dengan kondisi yang pernah terjadi pada pengujung 2017 hingga awal 2018. Saat itu, harga gabah petani di Desember 2017 sempat menyentuh Rp4.908 per kilogram kemudian melonjak di bulan selanjutnya menjadi Rp5.667 per kilogram.

"Keputusan tersebut (impor beras) menyakitkan petani. Kenapa saat harga gabak kering panen di bawah HPP Bulog tidak menyerap sebesar-besarnya," kata dia.

Wakil Direktur Sekolah Vokasi IPB, Prima Gandhi pun mengatakan Indonesia seharusnya mengalami surplus beras jika merujuk pada data BPS pada Oktober 2022 luas panen diperkirakan 1,61 juta hektare atau naik 1,87 persen dibanding 2021. Berdasarkan total produksi beras diperkirakan mencapai 32,07 ton atau meningkat 2,29 persen dibanding 2021.

"Konsumsi beras per tahun 30,20 juta ton. Sehingga ada surplus 1,87 juta ton. Saat puncak panen raya 2022, menghasilkan beras itu 10,15 juta ton," kata Prima Gandhi.

Dia menilai, saat Bulog ingin menyerap beras petani pada akhir 2022, maka sudah sulit didapatkan di lapangan. "Seharusnya saat musim panen raya itu Bulog menyerap gabah secara optimal. Bukan di akhir tahun yang bukan akhir musim panen," kata dia.

Selain itu, berdasarkan data FAOSTAT 2020, Indonesia merupakan produsen besar terbesar keempat dunia dengan produksi 54,65 juta ton padi. Maka seharusnya ketersediaan beras dalam negeri tercukupi.

"Kita tahu, ketika pasokan tersedia maka harga tidak mungkin naik. Kalaupun naik tapi masih wajar. Kalau impor beras, kita tahu bagaimana manisnya yang didapat. Tidak perlu capek panas-panasan seperti petani," kata dia.

Tata kelola

Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar Entang Sastraatmadja menilai ada persoalan dalam tata kelola cadangan pemerintah. Tata kelola cadangan pemerintah harusnya diperkuat dengan cara meningkatkan tata kelola pangan secara lebih berkualitas.

“Ini harus diselesaikan. Bagaimana caranya? Pada saat panen raya, Bulog bisa membeli beras atau gabah dari petani. Bulog jangan kalah saing dengan swasta, bandar, atau tengkulak. Supaya tidak kalah saing maka Bulog harus diperkuat dengan kebijakan harga,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (5/3/2023).

Entang menuturkan, jika Bulog masih berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maka akan sulit untuk bisa menang melawan swasta dalam menyerap beras ataupun gabah dari petani. Alasannya, sebagai BUMN, Bulog mengikuti sejumlah aturan, misalnya terkait dengan harga.

Besaran HPP yang ditetapkan dalam Permendag 24 tahun 2020 yakni untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp4.200 per kilogram dan di tingkat penggilingan sebesar Rp4.250 per kilogram, gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan Rp5.250 per kilogram dan di gudang Bulog sebesar Rp5.300 per kilogram, serta beras di gudang Perum Bulog Rp8.300 per kilogram.

Di lapangan, harga yang ditawarkan pedagang kepada petani mencapai Rp 6.000 per kilogram. Melihat perbedaan harga tersebut, Entang memahami jika petani memilih untuk melepas gabahnya kepada para pedagang dibandingkan harus menjual ke Bulog.

“Jika Bulog statusnya masih BUMN tidak akan bisa menang melawan swasta. Status bulog harus ditinjau ulang, apakah masih cocok menjadi BUMN?” katanya.
Sebelum reformasi, status Bulog bukan sebagai BUMN. Perubahan status tersebut terjadi ketika Indonesia memasuki masa reformasi, yang pada saat itu menurut Entang, Indonesia ditekan IMF untuk mengubah status Bulog.

“Apakah masih cocok sebagai BUMN? Harus ditinjau ulang. Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, harusnya jadi alat negara jangan menjadi alat bisnis. Statusnya harus diubah. Apakah masih pantas IMF mendikte kita?” katanya.

Sebagai alat negara, ungkap Sutatang, Bulog bukan menjadi pesaing dari para pedagang. Dengan kata lain, titik berat pendekatannya bukanlah pada bisnis tetapi secara total dan penuh membela petani. Dengan demikian diharapkan tata kelola pangan di Indonesia akan meningkat.

“Harus ada grand desain pembangunan pangan Indonesia dimana didalamnya ada tata kelola cadangan beras pemerintah. Apalagi tidak hanya beras ada empat komoditas yang produksinya defisit, yakni kedelai, bawang putih, gula pasir, dan jagung. Ini harus diperhatikan bagaimana membangun tata kelola pangan yang berkualitas,” katanya. ***

 

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini