Profesi Barista, Garda Depan Perjalanan Dunia Kopi

- 4 Maret 2023, 00:05 WIB
SEORANG barista meracik kopi buatannya di Morning Glory Coffee, Antapani, Kota Bandung, Jumat 3 Maret 2023. Seiring menjamurnya kedai kopi membuat banyak generasi milenial mulai tertarik menjadi barista profesional yang ahli dalam membuat dan menyajikan berbagai macam jenis minuman.*
SEORANG barista meracik kopi buatannya di Morning Glory Coffee, Antapani, Kota Bandung, Jumat 3 Maret 2023. Seiring menjamurnya kedai kopi membuat banyak generasi milenial mulai tertarik menjadi barista profesional yang ahli dalam membuat dan menyajikan berbagai macam jenis minuman.* /DENI ARMANSYAH/KONTRIBUTOR "PR"


KORAN PR - BUDAYA minum kopi alias coffee culture di tanah air, termasuk di Kota Bandung, terlihat kian melesak. Kondisi ini setidaknya terlihat dari semakin banyaknya kedai kopi -dari skala kecil hingga investor besar yang bermunculan. Bersamaan dengan itu, bagaimana dengan gengsi dan popularitas para peracik kopi yang biasa kita sebut sebagai barista?

 

BARISTA senior, Irma Purnama (33) membenarkan, tren profesi barista sedemikian meningkat seiring dengan kian menjamurnya budaya minum kopi di Indonesia. Budaya minum kopi tersebut meliputi dunia kopi dan modifikasinya yang kini sedang menjadi tren dan gaya hidup, atau bagi pemburu kopi “serius” yang menikmati kopi dengan metode yang lebih klasik.

Para pelajar dan mahasiswa yang masih menempuh pendidikan formal pun kini banyak yang tertarik menekuni dunia kopi dan berminat menjadi barista. Tengok saja, di beberapa kedai kopi, yang baristanya masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa.
“Secara kuantitas tentu meningkat, tapi kalau secara kualitas belum tentu,” ucap Irma kepada “PR”, Jumat 3 Maret 2023 malam.

Irma berkecimpung di “dunia” barista sejak 2009. Perempuan yang lebih dikenal dengan nama Irma Rosetta itu menyebutkan, tren peningkatan profesi barista terutama terlihat setelah pandemi Covid-19 melanda. Beberapa waktu terakhir, semakin banyak kedai kopi yang buka, sehingga peningkatan kebutuhan terhadap barista semakin meningkat.

Ia berpendapat peningkatan kebutuhan terhadap barista pada kenyataannya tak diimbangi dengan peningkatan skill atau kualitas. Jika dulu seseorang baru bisa menjadi barista setelah memahami seluk beluk kopi dan bagaimana menguasai mesin kopi, kini hampir semua orang bisa menjadi barista.

Ibaratnya, jika dulu barista bukan hanya sekadar orang yang “bertugas” untuk membuat kopi di kedai kopi. Namun lebih dari itu, seorang barista adalah seniman kopi.
“Sekarang, jadi barista itu gampang, tidak perlu menempuh pendidikan khusus, jadi secara skill kebanyakan memang jauh berbeda,” ujar perempuan yang sempat menyabet predikat sebagai pemenang Indonesia Coffee Master 2018 ini.

Karena sedemikian mudahnya menjadi barista, Irma juga mendapati banyak pula barista pemula yang memiliki attitude kurang baik. Padahal dalam bisnis kopi, seorang barista adalah garda terdepan dari “perjalanan” kopi yang sangat panjang.

Akibat profesi barista yang semakin menjamur dengan kualitas rata-rata yang merosot, pendapatan yang diraih oleh seorang barista pun menukik tajam. Dalam beberapa kasus, Irma menyebutkan, bayaran yang diterima barista saat ini rata-rata hanya mencapai Rp 1 hingga Rp 2 juta per bulan.

Jika seorang barista mampu mengembangkan diri dengan menguasai berbagai skill, pendapatan yang ia terima bisa meningkat. Apalagi, jika ia bisa merambah ke dunia perkopian yang lebih spesifik, sehingga banyak dicari orang.

“Semoga hal itu bisa menjadi motivasi barista sekarang untuk bisa meningkatkan kualitas, dan tidak berpikir sempit untuk hanya berakhir sebagai barista, melainkan harus terus bertumbuh,” ucap Irma, yang sejak setahun belakangan sudah memiliki kedai kopinya sendiri di kawasan Gegerkalong, Kota Bandung, yakni Double Strain.

Di masa mendatang, Irma memperkirakan permintaan terhadap profesi barista akan semakin meningkat. Hal itu seiring dengan peningkatan coffee culture yang semakin merebak di kalangan masyarakat. Untuk itu, ia berharap agar para barista semakin haus untuk belajar, dan tidak berhenti mengeksplorasi ilmu kopi yang tidak terbatas.

Renjana

Barista yang lain, Danny Darmawan (23), menyebutkan alasan orang memilih profesi barista karena passion. Hal itu pula yang menyebabkan barista kini juga banyak dipilih oleh anak-anak muda.

“Kalau sekarang itu trennya memang barista sebagai passion, jadi siapa saja bisa menjadi barista. Kalau dulu kan lebih formal, barista hanya ada di kedai kopi atau kafe yang serius menyuguhkan kopi,” ucap Danny.

Danny yang menjadi barista sejak 2018, memilih profesi ini karena sangat tertarik dengan dunia kopi. Profesi barista juga memungkinkannya untuk bertemu dan menjalin relasi dengan banyak orang. Melalui “pintu masuk” bernama barista, ia berharap bisa semakin banyak belajar mengenai dunia kopi, dan bisa berkembang lebih jauh mempelajari kopi dari hulu ke hilir.

Dukanya pun ada. Ia menyebutkan, penghasilan yang didapat dari menjadi seorang barista pemula, masih cukup rendah. “Tapi seiring dengan bertambahnya pengetahuan skill, income itu akan meningkat juga sih,” ujarnya sambil tertawa.

Profesional

Coffee Master sekaligus Pemilik Morning Glory Coffee Academy Nathanael Charis menyebutkan, pandemi Covid-19 cukup menjadi game changer dalam dunia kopi di dunia, termasuk Indonesia. Saat ini, tren pertumbuhan kedai kopi beserta permintaan terhadap baristanya cukup tinggi, meski masih kalah dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi melanda.

“Tapi menariknya, banyak juga barista yang serius untuk belajar sebagai bekal mereka untuk keluar negeri, mereka juga mengambil sertifikasi dari internasional,” kata pemilik Morning Glory Coffee International ini, ketika dihubungi kemarin siang.

Nael mengatakan, seiring dengan meningkatnya budaya minum kopi di dunia, permintaan terhadap barista profesional yang tersertifikasi juga tinggi. Di banyak negara dengan coffee culture yang tinggi, masih banyak kekurangan tenaga barista.

Di tanah air, dari segi skill, Nael melihat bahwa konsumen saat ini tidak terlalu mementingkan kopi premium yang diproses dengan metode yang sulit. Asal enak dan harganya murah, secangkir kopi akan diserbu pembeli.

Disadari atau tidak, realitas tersebut juga berdampak pada penurunan skill rata-rata yang dimiliki seorang barista. “Jadi, skill barista yang tidak terlalu gimana-gimana juga di Indonesia mah masih oke. Memang ada penurunan dari segi demand secara skill terhadap barista,” ujarnya.

Seluk beluk

Seorang barista setidaknya harus cakap memahami tentang seluk beluk kopi. Penambahan skill lain yang berhubungan dengan hal tersebut, biasanya sangat disukai pemilik kedai atau bisnis kopi.

Nael yang ketika dihubungi “PR” sedang berada di Hong Kong, menyebutkan, sebagian besar konsumen kopi di Indonesia -termasuk Bandung, mencari kopi-kopi yang disajikan oleh kedai atau kafe yang memiliki konsep tempat dan interior bagus. Mereka tidak spesifik menginginkan rasa kopi yang disajikan. Berbeda dengan realita yang ditemukannya ketika berada di luar negeri.

“Seperti sekarang ini, saya sedang duduk di kedai kopi yang memang menjagokan rasa kopi. Tempatnya sih biasa saja, yang penting nyaman didatangi ketika ingin duduk dan bekerja berjam-jam. Kalau di luar, tempat ngopi seperti ini yang banyak dicari,” kata Nael.

Meskipun demikian, kondisi yang saat ini terjadi di Indonesia tetap positif, karena masih bisa menumbuhkan minat orang untuk minum kopi. Secara industri, tren perkembangan coffee culture di Indonesia masih akan melesat di tahun-tahun mendatang.

Nael berharap agar para barista pemula tidak cukup puas dengan apa yang dikerjakan saat ini. Profesi barista bisa menjadi pembuka jalan yang mulus bagi peningkatan kemampuan seseorang dalam profesi selanjutnya.

“Kalau ingin berkembang di dunia kopi, sebaiknya jangan hanya menguasai skill barista saja. Tapi juga dari hulu seperti beans, bagaimana supply chain-nya, perdagangannya, atau bahkan ke hilir misalnya mengatur administrasinya, dan masih banyak lagi, sehingga karir-nya tidak stuck,” kata Nael.***

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah