Waspadai Pasar Modal Global “Memerah”

27 Maret 2023, 23:25 WIB
Kantor Deuctsche Bank cabang Brussels, Belgia, Sabtu 25 Maret 2023. /NICOLAS MAETERLINCK/AFP/AFP

 

INDUSTRI keuangan dunia dikagetkan karena salah satu bank terbesar di Amerika Serikat, Silicon Valley Bank (SVB), mengalami kebangkrutan. SVB merupakan bank terbesar ke-16 di negeri itu yang per 10 Maret 2023 tidak bisa beroperasi lagi dalam kurun waktu hanya 48 jam mengalami krisis modal. Otoritas berwenang AS akhirnya menutupnya pada Jumat (10/3/2023) lalu. Ini menjadi kejadian besar sejak krisis keuangan di tahun 2008.

 

Secara reflek kabar itu memicu kekhawatiran para pelaku bank di tanah air. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ikut terpuruk oleh sentimen SVB itu. Pasar saham Indonesia anjlok nyaris hampir 2%.

Sejauh ini diketahui, SVB menyimpan banyak deposit perusahaan rintisan dan pemberi pinjaman. Otoritas berwenang menutupnya bank itu usai nasabah menarik dana secara besar-besaran. Dalam istilah perbankan, kondisi ini disebut bank run atau run on the bank.
Merujuk dari berbagai sumber, run on the bank terjadi ketika nasabah menarik dana mereka dari bank karena nasabah meyakini bahwa bank tersebut akan hancur dalam waktu dekat.

Sementara dalam sistem perbankan, umumnya, bank hanya menyimpan sebagian kecil dari aset mereka sebagai uang tunai. Indikasi bank run tidak hanya penarikan dana dalam skala besar-besaran. Ketika nasabah mentransfer dana mereka ke lembaga keuangan lain, juga merupakan salah satu indikasi terjadinya bank run.

Akibat dari penarikan dana skala besar dalam satu bank memungkinkan peningkatan gagal bayar. Kondisi ini dipastikan membuat bank tidak stabil, sehingga kehabisan uang tunai dan menghadapi kebangkrutan mendadak.

Sebagai penanggulangan dari bank run, bank dapat membatasi jumlah dana yang dapat ditarik oleh setiap nasabah, menangguhkan penarikan sama sekali, atau segera memperoleh lebih banyak uang tunai dari bank lain atau dari bank sentral.

Pasar modal

IHSG anjlok karena terimbas pelemahan pasar modal Amerika Serikat (AS) akibat Bank Silicon Valley bangkrut. "Iya pasti karena dampak dari pasar modal di AS, Eropa merah, itu pasti akan dampak ke Indonesia karena yang dihajar itu perbankan. Secara jangka pendek memang berpengaruh sekali," kata Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, belum lama ini.

Melansir data RTI, IHSG turun 1,56% atau berkurang 105 poin ke level 6.681 hingga pukul 11.18 WIB pada 14 Maret 2023. Ibrahim memproyeksi anjloknya IHSG efek bangkrutnya SVB tidak akan berlangsung lama.

Ibrahim menjelaskan, dampak kebangkrutan bank yang memberi modal untuk startup (perusahaan rintisan) seperti SVB sebenarnya tidak terlalu besar ke Asia Tenggara terutama Indonesia. Hanya berpengaruh secara jangka pendek.

"Kemungkinan besar hanya bersifat jangka pendek. Jangka panjangnya kemungkinan besar pasar modal di Indonesia masih cukup stabil. Kemungkinan besar dalam 2-3 hari ke depan pasar modal sudah kembali lagi menghijau," tuturnya.

Di sisi lain, bangkrutnya SVB menjadi alarm untuk investor bahwa kenaikan Fed Funds Rate (FFS) di AS akan semakin nyata. "Ini yang sebenarnya membuat kekhawatiran dari pelaku pasar investor Bank Sentral AS," katanya.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, sektor perbankan di Indonesia tetap kuat dari sisi permodalan, risiko kredit, dan likuiditas, meskipun ada masalah pada empat bank di beberapa negara seperti SVB, Signature Bank, Silvergate Bank dan Credit Suisse.

Perry mengaskan, bangkrutnya bank-bank ini tak akan berdampak langsung di pasar keuangan Indonesia. Bank sentral telah melakukan serangkaian stress test untuk menguji seberapa kuat ketahanan perbankan Indonesia.

Perry menjelaskan saat ini rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan di Indonesia 25,88% per Januari 2023. Kemudian, non performing loan (NPL) 2,59% secara gross dan 0,76% secara neto.

"Ini menopang ketahanan perbankan di Indonesia, sehingga diperkirakan kinerjanya tidak terdampak langsung dengan dinamika penutupan 3 bank," katanya.

Perry mengatakan, tiga bank di AS ini memiliki model bisnis yang sangat rentan, misalnya deposit funding atau pendanaan terkonsentrasi pada deposan atau pemilik dana yang besar dan bukan dana murah.

Deposan ini juga masih berada dalam klaster yang terkait dengan startup dan teknologi finansial. Kemudian dari sisi dana yang dikumpulkan ditempatkan di surat berharga pemerintah. "Memang risikonya terlihat rendah, tapi yang jadi isu adalah risiko pada valuasinya," katanya di Jakarta.

Ketika suku bunga acuan bank sentral AS naik maka terjadi loss dalam securities valuation. Kondisi ini menyebabkan surat berharga menjadi turun dan valuasinya negatif dan membuat permodalan bank terganggu.

Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, jatuhnya SVB dan Signature Bank yang terjadi di Amerika Serikat (AS) tidak menimbulkan efek domino terhadap perbankan di Indonesia.

"Kami selalu mencermati setiap perkembangan baik perbankan nasional maupun internasional, jadi ketika kami mendengar kabar tersebut kami segera melakukan investigasi terkait pengaruhnya kepada perbankan di Indonesia, hasilnya dampak secara langsung relatif tidak ada," katanya.

Hal yang mendasari itu adalah dari sisi portofolio aset bank-bank di Indonesia tidak ada yang memiliki karakteristik seperti SVB yang memiliki portofolio surat berharga sangat besar. Selain itu level permodalan perbankan nasional disebut masih sangat tebal dan berada di angka 25,93% per Januari 2023.

"Selama Indonesia menjaga kebijakan dalam negeri dengan baik, kata Purbaya, perbankan nasional akan tetap aman dan stabilitasnya terjaga," kata Purbaya.

Waspada

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha M Rachbini menilai, bangkrutnya SVB tidak akan berpengaruh besar bagi kelangsungan industri di Indonesia.

"Risiko ke Indonesia kecil secara langsung, karena ada beberapa indikator antara lain perbankan di Indonesia mempunyai kecukupan modal yang kuat. Tidak ada juga startup di Indonesia yang terhubung langsung ke SVB Bank. Di valuated IHSG memang terjadi guncangan karena pengaruh pasar global," katanya.

Namun demikian, kondisi ini tetap perlu diwaspadai, terutama menyangkut pergerakkan suku bunga di luar negeri. Oleh karena itu, menjaga kestabilan sistem keuangan sangat diperlukan.

"Ke depan dari sisi moneter dengan jatuhnya SVB Bank bisa mengingatkan para regulator di dunia, mungkin hal SVB Bank akan terjadi juga pada beberapa bank lain karena kepemilikan di government bond dan beberapa institusi keuangan lain, systematic impact. Masalah utamannya ada pada interest rate," ujarnya.

Eisha menambahkan kejatuhan SVB lantaran menurunnya kepercayaan investor di startup dan venture capital, imbas dari suku bunga acuan AS yang bergerak secara agresif. Akibatnya, muncul keputusan menarik dana dari SVB Bank.

"Namun tidak terdapat dana cukup di situ karena sudah diinvestasikan di longterm bonds. Terjadi mismatch dan tidak bisa mengcover penarikan dana yang sangat cepat dan kemudian collapse," terangnya.

Dalam hal ini terjadi liquidity mistmatch antara deposito yang merupakan tabungan jangka pendek oleh SVB bank, ditanamkan ke investasi jangka panjang, salah satunya di government bonds alias obligasi pemerintah. Sementara, obligasi pemerintah sendiri memiliki suku bunga yang rendah saat sebelum pandemi Covid-19 dan kondisinya kini telah berbeda jauh.

"Pergerakan interest rate di luar negeri bisa jadi memengaruhi posisi keuangan dalam negeri dan juga patut diwaspadai. Yang harus dilakukan adalah menjaga kestabilan sistem keuangan. Meski di AS sanggup menanggung semua depositor yang ada sebesar 250.000 dolar AS," katanya.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, perbankan di Indonesia masih lebih baik dibandingkan perbankan Amerika Serikat hinga Eropa. "Sampai hari ini kita tidak melihat ada tanda-tanda yang punya impact karena kelihatan modal atau kapital daripada bank-bank kita juga bagus sekali," ujarnya.

Meski berada di kondisi yang lebih baik, Luhut minta agar masyarakat Indonesia tidak jumawa. "Jadi Indonesia masih sangat tinggi sekali, tapi bicara krisis seperti ini kita tentu harus hati-hati, dan saya kira BI juga dengan Kementerian Keuangan, saya kenal Bapak Ibu berdua itu saya kira sangat kredibel," kata Luhut.***

 

 

Editor: Suhirlan Andriyanto

Tags

Terkini

Terpopuler