Alokasi Dana Desa Perlu Aturan Tegas

23 Maret 2023, 21:16 WIB
Kemendes PDTT mendapatkan dana desa mencapai Rp 72 triliun untuk disalurkan pada seyiap desa di Indonesia.* /Instagram @kemendespdtt

KORAN PR - Tuntutan kepala desa (kades) agar alokasi dana desa naik jadi 10 persen dari APBN cukup logis dan beralasan. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur bisa lebih difokuskan dari desa. Apalagi sudah ada contoh sukses negara yang memprioritaskan pembangunan di desa, seperti di Tiongkok dan Korea Selatan. Belum lama ini, para kepala desa yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) meminta pemerintah menaikkan dana desa sebesar 10 persen. Dengan tuntutan itu, pemerintah diminta untuk menganggarkan hingga Rp300 triliun sebagai dana desa, dari total pada APBN tahun 2023 yang mencapai Rp3.061,2 triliun.

"Dengan membangun desa menjadi seperti kota, maka masyarakat pedesaan pun tidak akan bertransmigrasi ke kota. Saya melihat dari Tiongkok, di sana itu orang-orang bukan malah migrasi ke kota, tapi desa itu dibangun biar seperti kota. Banyak cerita sukses di Tiongkok, di Korea, itu yang justru dari desa sederhana terus dibangun, jadi malah lebih maju daripada kota," kata pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran, Yogi Suprayogi Sugandi di Bandung, Senin 20 Maret 2023.

Menurut dia, tuntutan kades yang meminta 10 persen dari APBN untuk dialokasikan buat dana desa merupakan ide yang baik. Gagasan tersebut, lebih beralasan ketimbang tuntutan kades yang meminta perpanjangan masa jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun.
Meskipun demikian, Yogi menekankan, pemerintah juga harus menjabarkan penggunaan dana desa untuk tujuan apa saja. Amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang memprioritaskan anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen dari APBN maupun APBD.

"Kemudian Permendagri juga mengatur tentang infrastruktur itu 40 persen, belanja pegawai maksimal 30 persen. Sebetulnya sudah ada Permendagri yang mengatur tentang berapa persentase buat penggunaan anggaran, cuma kan tiap daerah itu macam-macam," katanya.

Selain itu, dia menambahkan, pemerintah juga mesti jelas dan tegas dalam menentukan indikator pengalokasian dana desa. Gelontoran anggaran dari pemerintah pusat buat pemerintah desa, juga mesti dihentikan apabila suatu desa sudah mencapai titik tertentu.

"Jangan sampai ada mental semua ingin jadi desa, yang kalau desa mau dijadikan kelurahan itu enggak ada yang mau, walaupun secara indikator desa itu sudah layak jadi kelurahan. Kemudian ada ketegasan, misalkan, dalam waktu berapa tahun desa harus jadi kelurahan," katanya.

Menurut Yogi, dana desa yang saat ini diberikan oleh pemerintah pusat memang belum sepenuhnya dioptimalkan untuk pembangunan infrastruktur di desa. Walaupun yang terlihat lebih banyak pembangunan kantor desa, dia memandang bahwa itu suatu yang wajar.

"Wajar lah ya, balai desa diperbaiki, dibagusi, mungkin nanti ada trickle down effect. Untuk satu atau dua tahun mungkin pembangunannya banyak yang buat kantor desa, tapi ke depan kan bisa juga buat infrastruktur lain buat penunjang di desa," katanya.

Yogi mengatakan, ide untuk mengalokasikan 10 persen APBN buat dana desa juga perlu disertai dengan perencanaan yang matang, termasuk kajian khusus buat menciptakan keadilan di setiap desa. Pemerintah pusat bisa membantu konsultasi perencanaannya.

"Perencanaan di desa itu apa saja yang harus dilakukan, jadi pembangunannya terencana. Jadi bisa diketahui, misalkan, dana pembangunan desa sebesar Rp 1 miliar, itu tahu peruntukannya apa saja, karena kan sudah ada perencanaannya," tuturnya.

Di samping itu, kata dia, pemerintah pusat juga harus turun tangan dalam upaya peningkatan kapasitas aparatur pemerintah desa, terutama dalam melakukan tata kelola keuangan. Pasalnya, kualitas sumber daya manusia di pemerintah desa saat ini masih perlu diperbaiki.

"Harus ada sistem yang khusus buat memperbaikinya. Saya pikir semangatnya bagus, 10 persen APBN buat dana desa ini. Namun, harus dipersiapkan juga, jangan sampai malah banyak aparat desa yang dipenjara karena tata kelola yang tidak baik dari penggunaan anggaran," katanya.

Yogi meyakini, alokasi 10 persen APBN buat dana desa pasti membebani negara secara fiskal. Akan tetapi, dia menilai, hal itu masih lebih baik ketimbang pembangunan infrastruktur oleh pemerintah pusat, yang hasilnya justru tidak efektif dimanfaatkan oleh masyarakat.

"Jelas fiskal pasti akan terbebani, tapi kalau kita lihat sekarang, kalau mau apple to apple, pembangunan infrastruktur buat airport itu, mohon maaf, banyak yang idle. Banyak airport yang dibangun yang idle kan, banyak yang ditutup, walaupun kemarin itu karena ada Covid," katanya.

Langkah besar

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, dalam APBN 2023, Presiden Joko Widodo telah mengalokasikan dana desa mencapai Rp 70 triliun untuk 74.954 desa di 434 kabupaten/kota. Setiap desa bisa mendapatkan dana desa lebih dari Rp 1 miliar.

"Presiden Jokowi sudah mengambil langkah besar mengalokasikan dana desa untuk membangun desa. Karenanya, semua pihak harus bahu membahu untuk bersama-sama menyejahterakan masyarakat desa,” kata pria yang kerap disapa Bamsoet ini.

Ia mengatakan, pada prinsipnya mendukung tuntutan Apdesi tersebut. "Karena saya menilai masa depan Indonesia ada di pedesaan. Kedepan desa harus mampu bersaing dengan perkotaan, sehingga masyarakat yang tinggal di desa tidak lari ke kota dan beradu nasib di kota," katanya.

Bambang yakin apabila dana desanya besar dan bisa dimanfaatkan, maka desa akan berkembang. Sehingga, masyarakatnya tidak perlu ke kota dan membuka lapangan kerja bagi masyarakatnya.

"Saya yakin jika permintaan para perangkat desa agar dana desa dinaikan menjadi 10 persen dari APBN, Majelis Permusyawaratan Desa akan mampu mengawasi dana yang diperoleh desa. Hal ini diperlukan supaya dana desa bermanfaat bagi warganya dan bukan memperkaya kepala desanya," ujar Bamsoet.

Menurut Bamsoet, masa depan Indonesia berada di desa. Apabila desa tidak makmur, maka masyarakat akan lari ke kota guna mencari pekerjaan. Pada akhirnya mereka menjadi beban di kota. Karena itu, kata Bamsoet, apabila di desa telah tersedia lapangan kerja, maka terdapat perputaran ekonomi. Masyarakat desa, bahkan yang telah merantau di kota pun akan kembali ke asal mereka.

Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia dan Ketua Umum Pengurus Besar Keluarga Olahraga Tarung Derajat ini menuturkan, kekayaan alam Indonesia seperti, nikel, batu bara, emas, timah hingga gas berada di desa. Namun, hingga kini masih banyak masyarakat di desa yang masih hidup di garis kemiskinan.

"Nikel kita nomor 1 di dunia ada dimana? Batu Bara kita nomor 2 di dunia ada dimana? Timah kita nomor 3 di dunia ada di mana? Ada di desa. Emas kita nomor 6 di dunia? Ada di desa. Dan gas nomor 16 di dunia ada di desa. Semua ada di desa. Pertanyaan kita mengapa masih banyak masyarakat kita di desa yang masih hidup dalam garis kemiskinan," tutur Bamsoet.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy melihat masih kurangnya optimalisasi penggunaan anggaran dana desa untuk upaya penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem.

“Mohon masing-masing kabupaten dan kota mencermati dana desa, karena kebijakan saat ini sebagian besar dana desa difokuskan ke dalam tiga hal, pertama penanganan stunting, kedua penghapusan kemiskinan ekstrem, dan ketiga ketahanan pangan. Itu dilakukan secara simultan, tidak parsial karena satu sama lain berkait erat,” ujarnya ketika melakukan Roadshow Percepatan Penurunan Stunting dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem yang dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Tengah, belum lama ini.

Muhadjir juga menyampaikan pentingnya mencermati Permendes PDTT Nomor 8 Tahun 2022 tentang Prioritas Dana Desa Tahun 2023. Muhadjir menyampaikan seluruh pihak harus melakukan sinkronisasi program dalam upaya penanganan kemiskinan ekstrem dan penurunan stunting. Menurutnya kedua isu tersebut saling berkaitan satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan. ***

 

Editor: Suhirlan Andriyanto

Tags

Terkini

Terpopuler