Menakar Pentingnya Pembuktian Terbalik

14 Maret 2023, 18:54 WIB
Aktivis Aliansi Elemen Sipil berunjuk rasa di depan Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (3/3/2023).* /ANTARA/

KORAN PR - Ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia semakin tegas tatkala sejumlah kasus rekening gendut para pejabat negara terkuak. Masyarakat menengah ke bawah mengalami kesulitan ekonomi akibat sejumlah hal, seperti gelombang pemutusan hubungan kerja yang melanda perusahaan rintisan, ketidakpastian hubungan kerja yang juga dipengaruhi keinginan pemerintah menarik kapital sebanyak-banyaknya dengan menerapkan UU Cipta Kerja, sampai persoalan harga kebutuhan pokok yang fluktuatif. Ironisnya, di sisi lain, terdapat segelintir birokrat yang mengalami kelebihan pendapatan secara tidak wajar.

Seakan tak pernah habis, kasus demi kasus menyangkut rekening gendut pejabat bermunculan di negeri ini. Dalam sejarah Orde Baru, misalnya, kasus rekening gendut pejabat yang cukup besar muncul dari Pertamina ketika dipimpin oleh Ibnu Sutowo pada era 1970-an. Richard Robinson, dalam bukunya yang berjudul Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Negara (2012), mencatat bahwa sejumlah pejabat Pertamina pada era 1970-an dapat membangun bisnis pribadi mereka masing-masing. Bersamaan dengan itu, mereka memperkaya diri beserta lingkaran keluarganya berkat kelimpahan dana di perusahaan minyak milik negara, kala itu.

Kritik terhadap perilaku koruptif di Pertamina berlangsung marak pada masa itu. Presiden Soeharto sampai turun langsung dengan membentuk Komisi 4 pada tahun 1974 untuk “menertibkan” berbagai ketidakwajaran di Pertamina. Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo dipecat sebagai imbas dari penyelidikan internal tersrebut. Meski demikian, tidak pernah ada seorang pun pejabat Pertamina yang dituduh korupsi kala itu mendapatkan penindakan hukum.

Contoh kasus rekening gendut pejabat negara lainnya adalah seperti yang menimpa pegawai Ditjen Pajak Gayus Halomoan Partahanan Tambunan pada dekade 2010. Sebagai pegawai pajak golongan IIIA yang berusia 31 tahun, harta kekayaan Gayus kala itu mencapai kisaran Rp 74 miliar. Kekayaan yang mencapai puluhan miliar itu dinilai tidak wajar. Apalagi, Gayus saat itu belum genap 10 tahun bekerja di Ditjen Pajak.

Akhir-akhir ini, kasus rekening pejabat negara yang tidak wajar juga mencuat dari institusi yang sama. Pejabat Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo, kini tengah diperiksa oleh KPK lantaran kepemilikan kekayaan yang tidak wajar. Selain itu, Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono juga menjadi sorotan KPK ketika memiliki kekayaan tidak wajar yang mencapai Rp 13,7 miliar.

Tidak seperti era Orde Baru dulu, sekarang, kasus demi kasus harta yang tidak wajar kerap diiringi juga dengan penindakan hukum. KPK dan Kejaksaan Agung masih terlihat melakukan penindakan hukum terhadap para terduga korupsi. Akan tetapi, tampaknya persoalan mendasar ada di dalam sistem yang masih mengandung banyak celah dan belum tertutupi sehingga perilaku koruptif tetap saja terjadi.

Tidak percaya

Maraknya kasus kekayaan tidak wajar pejabat negara itu juga memunculkan dorongan dari beberapa pihak supaya pemerintah menerbitkan UU Pembuktian Terbalik. Tercatat, aktivitas antikorupsi Ibnu Syamsu, kemudian Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mendorong dibentuknya UU Pembuktian Terbalik.

Dorongan penerbitan UU Pembuktian Terbalik itu berangkat dari penilaian LHKPN yang seakan-akan formalitas belaka. Melalui UU Pembuktian Terbalik, diharapkan pejabat negara dapat membuktikan asal kekayaannya, tidak sekadar melapor lewat LHKPN.

Secara ringkas, pembuktian terbalik bermakna bila jaksa penuntut umum tidak melakukan upaya pembuktian ada atau tidaknya tindakan pidana. Meskipun demikian, upaya pembuktian tersebut dipindahkan ke terdakwa. Dengan kata lain, terdakwa melakukan upaya pembuktian di persidangan bahwa dirinya tidak bersalah.

Akil Mochtar, dalam bukunya Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (2009), menyinggung bahwa istilah “pembuktian terbalik” kurang tepat. Akan tetapi, istilah yang tepat adalah “pembalikan beban pembuktian”.

Meski dorongan UU Pembuktian Terbalik mencuat, tidak semuanya sepakat mengenai hal tersebut. Pasalnya, persoalan pembuktian terbalik sudah ada produk hukumnya meski dalam bentuk pasal yang menginduk ke UU, seperti UU Tipikor. Jadi, bukan menjadi UU tersendiri.

Sebenarnya, hal yang lebih esensial adalah kinerja penegak hukum itu sendiri dalam membasmi korupsi. Namun, persoalannya lagi, pandangan ketidakpercayaan atas kinerja penegak hukum terkait kasus korupsi, seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian, masih meliputi sebagian besar masyarakat saat ini. Ketidakpercayaan yang tentunya bukan tanpa dasar, terutama bila melihat peristiwa-peristiwa tidak sedap yang menimpa ketiga institusi itu, akhir-akhir ini.

Keberanian

Mengenai urgensi penerbitan UU Pembuktian Terbalik, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pada dasarnya, pembuktian terbalik itu membalikkan beban pembuktian kepada terdakwa. “Bahwa harta yang disita dalam status sitaan perkara pidana itu bukan berasal dari kejahatan,” tuturnya.

Menurut dia, sistem ini sudah dianut oleh UU Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU Tipikor, metode pembuktian terbalik tercantum dalam Pasal 37. Dalam pasal tersebut, terdapat empat ayat yang mengatur tentang metode pembuktian terbalik.

Abdul Fickar mengatakan, pada dasarnya, untuk mengungkap kasus korupsi, utamanya yang berangkat dari kekayaan tidak wajar para pejabat negara, yang diperlukan adalah keberanian KPK untuk menelusuri LHKPN. Persoalannya, menurut dia, KPK saat ini masih lebih banyak tergantung kepada temuan kasus, bukan berdasar dari LHKPN. “Padahal, dengan dasar LHKPN, seharusnya sudah bisa dituntut tipikor,” katanya.

Abdul Fickar mengatakan, KPK perlu bertindak lebih aktif lagi mengungkap kasus korupsi. Utamanya dengan berangkat dari LHKPN. “KPK harus lebih progresif lagi memanfaatkan LHKPN untuk pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Meskipun demikian, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari memiliki pandangan skeptis mengenai kinerja KPK akhir-akhir ini. Ia menilai, KPK saat ini sudah dirasuki oleh kepentingan politis. Penggunaan metode pembuktian terbalik oleh institusi tersebut dipandangnya riskan untuk dimanfaatkan sebagai alat kepentingan segelintir pihak tak bertanggung jawab.

Padahal, jika metode pembuktian terbalik diterapkan menjadi UU tersendiri, ia memandangnya penting juga dalam memberantas korupsi. “Tapi, jika aparat seperti KPK rusak seperti saat ini, aturan pembuktian terbalik hanya akan digunakan untuk kepentingan politik dan aparat hukum yang sesat. Akhirnya menjadi alat korupsi baru pula,” tuturnya.

Sementara LHKPN yang diharapkan sebagian pihak untuk menjadi dasar bagi pengungkapan korupsi pejabat negara, dinilainya tak lebih sebagai sebuah formalitas yang tanpa taring saja. Pasalnya, ia menilai selama ini, tidak ada tinjauan dan telaah lanjutan dari LHKPN para pejabat negara itu. “(LHKPN) lebih kepada gimmick saja daripada mengungkapkan kebenaran harta kekayaan para pejabat negara,” kata dia.***

Editor: Hazmirullah

Tags

Terkini

Terpopuler