Sulitnya Layanan Kesehatan Indonesia Bersaing dengan Rumah Sakit Luar Negeri

8 Maret 2023, 00:05 WIB
SEORANG perawat mengoperasikan alat CT Scan di Mayapada Hospital, Jalan Terusan Buahbatu, Kota Bandung, Senin (6/3/2023). Mayapada Hospital Bandung yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo diharapkan dengan adanya rumah sakit tersebut bisa mengurangi jumlah masyarakat yang berobat ke luar negeri.* /DENI ARMANSYAH/KONTRIBUTOR "PR"


KORAN PR - BEROBAT ke luar negeri merupakan pilihan yang tidak asing bagi sekelompok masyarakat Indonesia. Ada berbagai alasan yang mendasari. Mulai dari harga yang lebih murah, akses yang lebih mudah, pencarian teknologi kedokteran yang lebih mumpuni serta dokter dengan keahlian spesialis tertentu. Ada juga yang beralasan kecewa dengan sistem dan layanan kesehatan di tanah air, hingga yang belakangan ini marak terjadi, medical tourism alias berobat sambil berlibur.

 

SETIAP tahun, lebih dari dua juta orang Indonesia memilih berobat ke luar negeri. Destinasi negara yang dituju antara lain Malaysia (1 juta orang), Singapura (750.000 orang), serta sisanya memutuskan untuk berobat ke Jepang, Amerika Serikat, Jerman, dan negara-negara lain. Jumlah devisa yang hilang diperkirakan mencapai Rp 165 triliun.

Keinginan untuk berobat ke luar negeri ini bisanya didukung oleh banyak faktor. Layanan kesehatan di luar negeri seringkali dianggap lebih baik secara kualitas dan memberikan pelayanan yang lebih paripurna. Beberapa jenis pemeriksaan atau terapi medis mungkin hanya tersedia di center tertentu dan tidak ada di Indonesia. Pasien kadang juga menghindari waktu tunggu untuk suatu prosedur tertentu dengan langsung ke luar negeri.

Berbagai pusat layanan kesehatan di luar negeri pun berlomba-lomba memberikan layanan yang terbaik. Ada yang memberikan harga yang murah, teknologi tinggi, kenyamanan, kecepatan layanan atau bahkan kombinasi semuanya yang meliputi pelayanan terbaik dan teknologi terkini dengan harga murah. Mereka juga mempromosikan kualitas dokternya yang sepadan dengan sentra-sentra terbaik di dunia.

Seperti yang dirasakan oleh Sylvia (42), saat memutuskan untuk membawa sang ibu melakukan pemasangan ring jantung (stent) di Gleneagles, Kuala Lumpur, Malaysia. “Rasanya lebih reugreug aja kalau ditangani sama salah satu kardiolog terbaik. Harganya juga kalau dihitung-hitung ya lebih murah daripada di Indonesia, kebetulan juga kami punya kerabat di sana,” ucapnya kepada “PR”, Selasa 7 Maret 2023.

Faktor servis dan kenyamanan tersebut juga disebutkan Sylvia menjadi faktor penting ketika memilih rumah sakit. Di sana, sang ibu dirawat inap selama 2 hari, dan membutuhkan waktu sekitar 4 atau 5 hari untuk merampungkan konsultasi, pemeriksaan, sampai tindakan selesai.

“Memuaskan sih, enggak perlu antre juga, pelayanan cepat dan mantap. Dalam waktu singkat ibu juga bisa beraktivitas kembali,” ujarnya.


Kepastian tarif

Hal yang sama juga dirasakan oleh Nathan (45), yang memutuskan untuk berobat ke salah satu rumah sakit besar di Penang, Malaysia, demi mendapatkan layanan endoskopi. Ketika berkonsultasi dengan salah seorang dokter di rumah sakit besar di Jakarta, ia mengatakan harus menyiapkan uang sekitar Rp 15-30 juta.

“Itu pun masih tentatif, belum ada kepastian. Jadi saya search di internet, dan ketemu dengan beberapa rumah sakit di Penang yang harga tindakannya Rp 15 juta sudah all in tiket pesawat PP dan lain-lain seperti akomodasi dan makan untuk dua hari bagi dua orang,” ujarnya.

Ayah dua anak ini menyebutkan, kepastian mengenai pelayanan dan terutama tarif, menjadi daya tarik utama ketika berobat ke luar negeri. Di dalam negeri, meskipun semakin banyak item pengobatan dan tindakan yang di-cover BPJS, akan tetapi untuk orang-orang yang punya kemampuan ekonomi lebih dan bisa memilih, opsi pengobatan ke luar negeri masih menjadi primadona.
Paduan antara harga yang murah, kecepatan layanan, penggunaan teknologi terbaik serta ingin mencicipi medical tourism, sempat dirasakan Lia (37) ketika memutuskan untuk melakukan operasi lasik di India, beberapa tahun lalu. Sejak berusia lima tahun, minus matanya terus bertambah secara progresif. Terakhir, ia memiliki minus mata 11 untuk mata kanan, dan 9 untuk mata kiri.

“Saya lelah pakai kacamata, karena sangat tebal. Untuk soft lense pun tidak bisa, karena ada silindrisnya. Maka saya tertarik untuk lasik, dan dimulailah pencarian layanan kesehatan yang bisa melakukannya dengan teknologi terbaik dan harga termurah,” ucapnya.

Dia akhirnya memilih India, karena saat itu sang ayah sedang bertugas di India. “Awalnya sekalian berlibur, jadi pas tindakan lebih tenang, dan sesudah lasik pun bisa sekalian healing,” ujar ibu satu anak yang kini bermukim di Bintaro, Jakarta Selatan ini.

Lia tak menampik jika saat ini sudah banyak rumah sakit di Indonesia yang bisa menyediakan lasik dengan teknologi tinggi dan harga yang semakin terjangkau dibandingkan satu dekade lalu. Hanya saja, ia lebih memilih salah satu rumah sakit di Delhi yang menawarkan biaya Rp 12 juta.

“Selain harganya lebih murah, saya mendapati bahwa India memiliki banyak dokter spesialis mata terbaik yang telah berpengalaman, teknologinya pun setelah saya baca-baca, lebih membuat perasaan saya tenang. Ketika masuk ruang tindakan, ada perasaan enggak terlalu deg-degan dengan side effect-nya,” tutur Lia.

Pekerjaan rumah

Dari fenomena tersebut, terlihat ada berbagai pekerjaan rumah yang masih harus dikejar oleh sistem layanan kesehatan di Indonesia. Meskipun, untuk pembiayaan kesehatan, melalui jaminan kesehatan BPJS, jangkauan untuk mendapatkan layanan kesehatan diklaim sudah lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Gufron Mukti memastikan sistem BPJS di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
“Kebetulan kami baru mendarat dari Italia. Di sana kami mendapati bahwa banyak negara-negara termasuk Amerika Serikat, dan kami pastikan bahwa BPJS Kesehatan kita lebih baik dari sistem di AS. Sistemnya, lho ya,” ucap Ali Gufron, ketika ditemui saat peresmian Mayapada Hospital Bandung, Senin 6 Maret 2023.

Ali mengatakan, perkembangan BPJS Kesehatan di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir relatif melesat. “Sekarang di seluruh Indonesia, pakai KTP saja sudah bisa. Ini di Malaysia belum bisa,” ujarnya.

Saat ini, salah satu problem terbesar terkait layanan kesehatan di Indonesia adalah keberadaan dokter spesialis dan subspesialis yang masih sangat kurang, jika dibandingkan dengan populasi penduduk di Indonesia. Ditemui pada kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengakui, upaya pemenuhan dokter spesialis dan fasilitas penunjang memang harus dilakukan dalam rangka transformasi sistem kesehatan Indonesia.

Dokter spesialis yang menjadi prioritas pemenuhan di RSUD adalah spesialis penyakit yang menjadi penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Dokter spesialis tersebut antara lain spesialis onkologi untuk penyakit kanker, spesialis jantung dan pembuluh darah, spesialis neurologi untuk penyakit stroke, serta spesialis nefrologi untuk penyakit ginjal. Seperti diketahui, empat penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia yang juga menjadi beban terbanyak biaya BPJS Kesehatan, yakni jantung, kanker, stroke, dan ginjal.

Akses untuk pelayanan kesehatan terhadap empat penyakit tersebut juga masih lemah. Budi menyebutkan, kendala yang menjadi pekerjaan rumah tersebut membuat banyak masyarakat memilih untuk berobat ke luar negeri.

“Untuk penyakit jantung, misalnya. Tindakan pertamanya harus intervensi pasang ring agar survival rate-nya tinggi, maksimal empat jam, sehingga harusnya ada di setiap kota atau kabupaten. Kan tidak mungkin orang ada di Cirebon dibawa ke Bandung,” kata Budi.

Dari 514 kota/kabupaten di Indonesia, kata Budi, hanya ada 44 rumah sakit yang bisa melakukan tindakan pemasangan ring terhadap pasien penyakit jantung. Artinya, jumlah rumah sakit yang bisa menangani serangan jantung masih di bawah 10 persen.
“Itu sebabnya banyak yang meninggal,” ujar Budi.

Pada bayi atau anak-anak, Budi juga menyebutkan bahwa dari 4,8 juta kelahiran bayi setiap tahunnya, ternyata sebanyak 10 persen di antaranya mengalami kelainan jantung bawaan. Dari sekitar 48.000pasien bayi tersebut, 25 persen di antaranya mengidap penyakit jantung bawaan kritis dan harus segera dioperasi.

Di sisi lain, kapasitas operasi jantung di Indonesia hanya sekitar 5.000-an. Dengan demikian, 7.000 ribu anak sisanya kemungkinan besar akan meninggal dunia akibat tidak memperoleh kapasitas operasi tersebut.

“Itu baru jantung, kalau kita bicara stroke lebih ketinggalan lagi fasilitasnya, apalagi kanker,” tutur Budi.

Kanker payudara pun menjadi salah satu jenis kanker yang paling banyak diderita oleh perempuan di tanah air. Berdasarkan data Global Cancer Observatory tahun 2020, jumlah pasien kanker payudara di Indonesia mencapai 68.858 kasus.

Sebagian besar pasien kanker payudara di Indonesia baru terdeteksi pada stadium lanjut atau stadium 3-4. Hal ini terbukti dari data tahun 2020 milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI yang menemukan bahwa sebanyak 60% hingga 70% kanker payudara didiagnosis pada stadium lanjut. Padahal, kanker payudara bisa diatasi dan ditangani hingga sang pasien sembuh, dan bisa tertangani dengan baik jika masih terdeteksi stadium 1 atau 2.

“Tapi, dari sekitar tiga ribuan rumah sakit di Indonesia, yang bisa mammografi berapa? Hanya 200-an, artinya less than 10 percent. Itu sebabnya, banyak yang lari ke Malaysia dan Singapura. Setelah 77 tahun merdeka, ternyata ktia tidak mengurus dengan benar persiapan infrastruktur kesehatan,” tuturnya.

Untuk itu, Budi menjelaskan, tahun ini RI sudah mendapatkan pinjaman 5 miliar dolar AS untuk mengejar ketertinggalan di bidang infrastruktur kesehatan, termasuk penyediaan alat-alat kesehatan di empat bidang penyakit terbanyak tersebut. Untuk mendongkrak angka dokter spesialis dan sub spesialis, Budi telah berkoordinasi dengan Kemenkeu dan Kemdikbud untuk menggulirkan beasiswa lebih banyak di tahun ini.

“Indonesia ini adalah negara satu-satunya di dunia yang pendidikan dokter spesialisnya harus bayar. Di Amerika, Jepang, Singapura, semuanya tidak bayar, makanya dokter spesialis di sini sangat jarang dan kurang,” katanya. ***

Editor: Suhirlan Andriyanto

Tags

Terkini

Terpopuler