Mekanisme Pengawasan Harta Pejabat Masih Lemah

1 Maret 2023, 20:06 WIB
Eks pejabat Dirjen Pajak Rafael Alun Trisambodo (kedua kiri) tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu 1 Maret 2023. /Fianda Sjofjan Rassat/ANTARA

KORAN PR - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun inspektorat di setiap lembaga seharusnya bisa melakukan pengawasan yang lebih ketat dan efektif terhadap harta pejabat negara. Namun ternyata masih ada celah-celah yang bisa dimanfaatkan dalam mekanisme pengawasan yang ada selama ini.

“Namun masalahnya, banyak kasus dimana beberapa harta kekayaan pejabat negara tidak dilaporkan ke KPK. Sebagai contoh, kasus mobil (penganiayaan David) yang kemarin menjadi kasus yang tidak masuk LHKPN orangtuanya sebagai petugas pajak. Jadi, memang di Indonesia ini banyak keanehan yang seharusnya menjadi perhatian aparatur pengawasan, terutama KPK," kata pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar di Jakarta, Selasa 28 Februari 2023.

Menurut Abdul, pengawasan secara sistemik dapat dilakukan oleh atasan langsung pejabat maupun oleh inspektorat di lingkungan kementerian/lembaga. Nyatanya, pengawasan seperti itu tidak efektif bila menyangkut soal penguasaan harta kekayaan.

“Dari soal penguasaan harta kekayaan itu, mekanisme Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara di KPK bisa berperan. LHKPN ini seharusnya bisa menjadi dasar laporan bagi KPK untuk bisa melakukan pengawasan dengan lebih ketat lagi,” katanya.

Menurut Abdul Fickar, KPK hendaknya bisa mengembangkan suatu kasus korupsi "pasif", seperti tidak cocoknya LHKPN dengan pengadaan riil atau gaya hidup para pejabat negara beserta keluarganya. Langkah ini penting di tengah besarnya celah korupsi yang meliputi negeri ini.

Ia menilai, korupsi di Indonesia sudah sistemik. Selain itu, melekat dalam jabatan dan mental orang atau pejabatnya. Untuk mengatasinya, ma harus ada niat dan kemauan secara politik dari pemerintah untuk memberantasnya.

"Yang penting ada kemauan politik dan berkolaborasi antara lembaga yang berwenang. KPK bisa berkolaborasi dengan kejaksaan, kepolisian, PPATK atau lembaga lain yang relevan dengan kasus yang tengah dihadapi," ujarnya.

Pelaporan harta kekayaan bagi pejabat negara itu merupakan suatu kewajiban. Hal itu sudah jelas tercantum dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 700/6597/SJ tertanggal 17 November 2014 tentang kewajiban Penyampaian Laporan Harta dan Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) di lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Aturan ini merupakan bagian dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui penyampaian LHKPN.

Tujuan dari pembuatan LHKPN ini merupakan bagian dari wewenang KPK untuk melaksanakan langkah atau upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi. Namun aturan pelaporan harta kekayaan ini tidak mengikat semua aparatur sipil negara (ASN).

Ruwet

Pengamat kebijakan publik dan pemerintahan Universitas Padjadjaran Asep Sumaryana menyebutkan satu kelemahan ketika LHKPN belum diwajibkan bagi semua tapi hanya mengikat pejabat tinggi negara. “Yang di bawahnya belum, sehingga masih bersifat imbauan,” katanya seperti dilaporkan kontributor “PR” Dewiyatini, kemarin.

Orang yang melaporkan kekayaan, kata Asep, baik yang wajib atau mengikuti imbauan, seringkali tidak semua dilaporkan. Kendalanya, pelapor seringkali diminta dokumen-dokumen legalnya.

Asep mencontohkan seorang pejabat memiliki rumah, tapi rumah belum bersertifikat. Demikian juga ketika membeli tanah di kampung yang ditandai dengan kikitir. Sehingga saat dilaporkan, akan tidak terpenuhi buktinya.

Alasan keengganan untuk melaporkan harta pun bisa karena orang tersebut tidak ingin ketahuan memiliki kekayaan banyak padahal pendapatan tidak logis. Kondisi yang tidak kalah ruwet, adanya harta yang merupakan pemberian yang tidak dilaporkan karena tidak adanya dokumen bukti legal bahwa harta itu merupakan hibah.

“Kultur kita tidak begitu, yang mengharuskan ada dokumen ketika memberi pada pejabat negara. Kalau mere mah mere weh. Tanpa ada dokumen yang legal,” ucap Asep.

Dengan demikian sudah menjadi hal yang lumrah, pejabat negara menitipkan harta kekayaannya pada orang lain agar tidak terdeteksi. Pelaporan dengan bukti dokumen legal ini menjadi alasan bagi pejabat publik tidak memasukkan data harta kekayaannya.

“Seharusnya disiapkan mekanisme yang sederhana untuk pelaporan sekaligus dapat mendeteksi kekayaan para pejabat,” ujar Asep.

Dokumen legal memang membantu autentifikasi kepemilikan harta. Namun hal itu akan membuat pejabat enggan memasukkan harta tanpa dokumen dalam LHKPN.

Selain itu, LHKPN ini tidak mengikat bagi pejabat yang purna bakti atau di level rendah. Sejatinya, kata Asep, dibuat pelaporan harta kekayaan di tiap level pemerintahan. Karena serendah apapun jabatan, sepanjang mengelola keuangan negara, berpotensi untuk menyalahgunakan kewenangan.

Contohnya saja, beberapa kali diberitakan adanya polisi berpangkat rendah bisa memiliki harta kekayaan luar biasa dibanding gajinya. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah menemukan rekening tidak wajar alias rekening gendut berisi sekitar Rp 1,5 triliun milik salah seorang anggota polisi, Labora Sitorus.

Dia adalah anggota Kepolisian Resor Sorong Papua yang masih berpangkat ajun inspektur satu atau aiptu. Polda Papua sempat menyebut Labora terlibat kasus penyelundupan kayu dan bahan bakar minyak di Papua.

“Sayangnya di LHKPN ini tidak seperti mekanisme pengajuan kredit di bank yang selalu mengecek ke lapangan untuk membuktikan agunan yang dijaminkan tidak diterapkan. LHKPN ini hanya cukup dengan dokumen,” ucapnya. ***

Editor: Suhirlan Andriyanto

Tags

Terkini

Terpopuler