Pamer Gaya Hidup Mewah Jadi Bumerang

Kasus penganiyaan yang dilakukan anak pejabat pajak tersebut mengungkap kasus lainnya. Di antaranya pajak mobil berjenama Rubicon yang digunakan tersangka penganiya, ternyata belum dibayar. Hal yang sangat ironis karena orangtua tersangka bekerja di instansi pajak, tetapi tidak patuh membayar pajak. /Freepik

KORAN PR - DI tengah gempuran media sosial, pamer gaya hidup dan eksistensi menjadi hal yang dianggap wajar. Akan tetapi, bagaimana jika media sosial menjadi bumerang, terutama bagi aparat negara yang mengekspos gaya hidup bermewah-mewah.

EFEK domino penganiayaan yang dilakukan anak salah satu eks pejabat Kementerian Keuangan terus berlanjut. Salah satunya yang kini ramai diperbincangkan publik, adalah perilaku gaya hidup hedonis, serta pamer kemewahan harta benda.

 

Siti (38) yang merupakan istri TNI mengatakan, karakter keluarga pejabat, baik militer atau sipil sama saja. Kalau sudah berpangkat atau menduduki jabatan tinggi, gaya hidupnya pasti berubah.

"Kalau kumpul memang pakai seragam, tapi aksesorinya mahal dan bermerek. Anak-anaknya juga sama saja. Jika ada apa-apa, sudah bukan rahasia ya suka bawa nama, jabatan, atau satuan orangtuanya," ungkap Siti.

Menurut Siti, di kalangan militer, kerap ada imbauan agar keluarga tentara tidak sering bermain atau berinteraksi di media sosial. Namun, ini sifatnya hanya imbauan. Intinya yang pamer tetap ada, tapi enggak sampai terekspos besar-besaran.

Semua, kata Siti, kembali ke pengendalian diri. Semua yang berlebihan itu tidak baik, termasuk berinteraksi di media sosial.

Nur (40) yang merupakan istri anggota kepolisian mengungkapkan larangan memperlihatkan gaya hidup hedonisme di media sosial, terutama kepada polwan atau istri pejabat. Jadi, larangan ini sifatnya momentum saja.

Keberadaan komunitas kendaraan mewah yang anggotanya merupakan pejabat publik kini mendapat sorotan tajam. Padahal, pejabat publik merupakan pihak yang seharusnya menjadi garda terdepan sebagai contoh kebersahajaan dan kesederhanaan terhadap masyarakat.

Aktualisasi

Psikolog Efnie Indrianie menyebutkan, gaya hidup hedonisme dan pamer kemewahan pada dasarnya merupakan salah satu ekses dari kebutuhan dasar manusia berupa aktualisasi diri. Dalam kondisi normal, aktualisasi diri ditunjukkan dalam bentuk karya, atau pun potensi-potensi yang digali dari diri seseorang. Lewat karya dan potensi tersebut, seseorang bisa dikenal masyarakat.

“Tapi kita lihat, tidak semua orang mengaktualisasikan diri dengan menggali potensi dirinya, sehingga menggunakan cara lain. Yang paling mudah adalah memamerkan apa yang dia miliki, termasuk harta benda dan atribut-atribut tersier,” ucap Dosen sekaligus Kepala Bidang Kajian Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha ini kepada “PR”di Bandung, Senin 27 Februari 2023.

Dari sudut pandang biopsikologi, Efnie menyebutkan, bahwa perilaku tersebut berbahaya karena berpotensi menimbulkan adiksi. Berawal dari aktualisasi diri yang kebetulan memiliki wadah untuk memfasilitas serta sumber daya dalam bentuk pundi-pundi rupiah, akan memberikan kepuasan tersendiri. Hal itu bisa menstimulasi terbentuknya hormon dopamin.

Hormon dopamin adalah senyawa kimia di otak yang berperan untuk menyampaikan rangsangan ke seluruh tubuh. Hormon ini disebut juga hormon pengendali emosi. Ketika diproduksi dalam jumlah yang tepat, hormon ini akan meningkatkan suasana hati sehingga orang akan merasa lebih senang dan bahagia.

“Bayangkan, perilaku itu menimbulkan perasaan joy. Semakin lama, kebutuhannya akan semakin meningkat, dan itu cikal bakal adiksi. Efeknya sama seperti drugs. Bedanya, kalau rehabilitasi drugs sudah ada, kalau rehabilitasi flexing kan belum ada,” tutur Efnie.

Kondisi tersebut diperparah dengan kecenderungan orang yang memamerkan gaya hidup mewah tersebut, tidak merasakan apa yang dilakukan sebagai gangguan. Apalagi ketika berada di dalam komunitas yang sama-sama senang menggunakan barang mewah, perilaku tersebut seakan dinormalisasi.

Usia juga tidak membatasi seseorang untuk melakukan pamer ataupun flexing. Usia yang semakin bertambah, bukan berarti mengurangi keinginan seseorang untuk melakukan aktualisasi diri.

“Mau remaja atau bahkan pejabat yang sudah berumur, banyak yang menganggap bahwa kebutuhan aktualisasi diri harus diwujudkan, meski dalam bentuk yang berbeda,” ujarnya.

Media sosial

Perkembangan media sosial yang semakin masif, juga disebutkan Efnie sangat berpengaruh signifikan terhadap perilaku ini. Tak perlu memiliki prestasi maupun potensi yang bermanfaat, seseorang bisa begitu dikenal dan diperhatikan oleh masyarakat secara luas.

Apalagi, ketika dorongan untuk mengaktualisasikan diri tersebut memperoleh dukungan di sekitarnya -salah satunya berupa komunitas. Sehingga, orang tersebut seakan memiliki achievement ketika melakukannya.

Lebih lanjut, Efnie menyebutkan, perbedaan berada di dalam komunitas umum dengan komunitas yang dibentuk karena berangkat dari barang atau hobi mewah, terletak pada kata prestise. Dalam kondisi tertentu, rasa gengsi yang dimiliki membuat komunitas semacam ini menjadi ajang untuk lebih meningkatkan perilaku pamer.

Ketika pejabat publik atau ASN yang notabene merupakan pelayan publik berada dalam komunitas “pamer” benda mewah tersebut, hal tersebut akan semakin disayangkan. “Seharusnya, pelayan publik itu mengedepankan sikap empati, itu yang penting,” ujar Efnie.

Saat ini , sebagian besar masyarakat baru beranjak untuk memulihkan diri pascapandemi. Orang-orang dari berbagai bidang pun ikut merasakan dampaknya. Banyak orang mulai bangkit perlahan.

“Meskipun kita berada di atas, sebaiknya biasa-biasa saja lah. Lebih baik banyak membantu dan menolong orang lain, misalnya dalam bentuk bansos, tapi tidak mengedepankan komunitas moge-nya sebagai contoh,” tutur Efnie.

Dengan mengemukanya kasus penganiayaan tersebut yang menimbulkan efek domino, Efnie berpendapat bahwa tidak hanya bagi pejabat publik maupun kalangan tertentu, semua masyarakat yang menjadi orang tua harus lebih cermat dalam mendidik anak agar lebih empati, bersahaja, dan bisa memaknai hidup yang sesungguhnya lewat perilaku baik.

“Jangan lupa juga untuk mengajarkan anak agar selalu menghargai integritas,” ujar Efnie.

Etika

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Lina Miftahun Jannah pun menilai, gaya hidup bermewah-mewahan tampak menjadi kecenderungan yang ada sekarang. Sikap itu bisa jadi akibat terpengaruh oleh perkembangan teknologi komunikasi saat ini.

Namun bila menyangkut aparatur sipil negara dan fenomena pamer gaya hidup mewah mereka, ia mengatakan, pada prinsipnya ASN memiliki etika yang mengaturnya. Apalagi ASN diikat oleh etika untuk memiliki integritas, tidak melakukan korupsi dan semacamnya.
Etika tersebut sekaligus mencakup peran ASN yang harus memberikan contoh yang baik.

"Jadi, selain menjalankan tugasnya, dia juga harus memberikan contoh yang baik, utamanya tadi, dia tidak melakukan korupsi segala macam," katanya, kemarin.

Fenomena kritik terhadap pejabat publik yang mempertontonkan gaya hidup mewah, ungkap Lina, hal tersebut menunjukkan besarnya tuntutan integritas sebagai bagian dari etika.
“Wajar bila khalayak kemudian ramai mempertanyakan sumber pendapatan yang menopang gaya hidup mewah para pejabat tersebut,” katanya.

Lina menyentuh fungsi inspektorat di setiap instansi pemerintahan terkait kekayaan para pejabat atau ASN. Pasalnya, laporan kekayaan itu sifatnya lebih kepada asesmen dan insiatif pribadi.

Ia berpandangan, inspektorat harus betul-betul berperan sebagai pengawas ASN. Tidak hanya sebatas tahap melaporkan saja.

"Bukan sekadar melaporkan, tapi mencurigai. Misalnya, tiba-tiba ia memakai mobil mewah ke kantor. Kan patut dicurigai darimana ia memperolehnya? Atau misalnya tidak memakai mobil mewah, tetapi tasnya mewah. Zaman sekarang harga tas kan mudah dilacak," kata dia.

Jadi, persoalan harta tidak wajar di kalangan pejabat atau ASN pada dasarnya bisa dicegah sejak dini. Kuncinya yakni proses dan sistemnya itu bekerja dengan baik. ***

 

Editor: Suhirlan Andriyanto

Tags

Terkini

Terpopuler