Pecah Kongsi Kepala Daerah, Memilih Mengalah atau Menyerah

15 Februari 2023, 18:33 WIB
Bupati Indramayu Nina Agustina menghadiri acara tanpa didampingi wakilnya Lucky hakim di Indramayu, Jawa Barat, Selasa (14/2/2023). Wakil Bupati Indramayu Lucky Hakim mengajukan pengunduran diri melalui surat yang dikirim ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Indramayu. ANTARAFOTO/Dedhez Anggara/foc. /Dedhez Anggara/ANTARA FOTO

 

MEMASANGKAN calon kepala daerah dan wakil kepala daerah ibarat kisah Siti Nurbaya yang ­dipaksa menikah dengan pasangan yang belum dikenal betul. Dalam perjalanan setelah menikah, karena tidak saling mengenal, tidak ada yang mau menurunkan ego.

 Alih-alih mencari akar permasalahan dan me­nye­lesaikan masalahnya, yang ada malah memilih pisah. Tak ada mediasi dengan p­a­sangan atau konsultasi dengan ’orangtua’. Pilih mengalah dan menyerah.

Mungkin ini analogi yang tepat ketika menyimak kisah Lucky Hakim yang tiba-tiba memilih meng­undurkan diri sebagai Wakil Bupati Indramayu. Tanpa diketahui partai pengusungnya, ujug-ujug Lucky Ha­kim melayangkan surat pengunduran diri kepada DPRD Kabupaten Indramayu.

Drama rivalitas yang ber­ujung dengan perpisahan bu­­kan lagu baru yang dipertontonkan para kepala dae­rah dan wakil kepala daerah sejak dipilih secara langsung oleh rakyat. “Sejak awal, po­tensi ketidakcocokan sudah ada. Calon kepala daerah ti­dak bisa memilih sendiri pa­sangannya. Dia dipilihkan dan sering kali pilihan dari partai pengusung atau koalisi di akhir-akhir,” ujar pengamat politik Firman Manan, Selasa 14 Februari 2023.

Mau tidak mau, suka tidak suka, para kandidat harus re­la dipasangkan dengan se­se­orang yang belum tentu langsung memiliki chemistry sebagai pasangan yang setidaknya harus mengarungi rumah tangga selama lima tahun itu. Tidak heran, ketika tidak ada kecocokan, ada yang memilih bertahan sampai habis atau menyerah kalah.

Berdasarkan regulasi, kata Firman, tidak disebutkan pe­mimpin daerah itu oleh dua orang. Kepala daerah itu tung­gal, bisa wali kota, bupati, atau gubernur. Namun, aturan lainnya justru meng­amanatkan adanya wakil ke­pala daerah yang bisa berbagi kekuasaan untuk menge­lola daerahnya.

“Sayangnya, tidak semua kepala daerah itu mau berbagi power dengan wakil ke­pa­la daerahnya. Bagi yang tak mau berbagi, ya menyebab­kan wakil kepala daerah se­akan-akan nonjob meski di aturannya sudah ada pembagian tugasnya,” tutur Firman.

Wakil kepala daerah me­nye­rah dengan bertahan, kata Firman, mungkin diam saja hingga akhir masa jabatan. Ada juga wakil kepala daerah yang tidak tahan, seperti Lucky yang memilih mundur. Tapi, ada lagi yang mungkin akan melawan.

“Mereka ini biasanya wakil kepala daerah yang sadar betul bahwa ia memiliki kontribusi yang besar atas kemenangan mereka. Misalnya, dia adalah vote getter atau berkontribusi dalam dana pemilihan sehingga menuntut kekuasaan yang sepadan,” ucap Firman.

Pragmatis

 Hal senada diungkapkan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Giri Ahmad Taufik bahwa perjodohan antara kepala daerah dan wakil ke­pala daerah di awal pemilih­an sering kali hanya didasar­kan pada kepentingan pragmatis dibandingkan strategis, seperti kesamaan visi mi­si, kesamaan program yang akan dijalankan.

“Jadi, perkawinan mereka lebih pada pembagian ke­kua­sa­an belaka sehingga jika terjadi ketidakcocokan atau salah satu pihak me­lang­kahi perjanjian, pembagi­an kekuasaan ini menyebab­kan perpecahan,” kata­nya.

Konflik itu, kata Giri, memang dampaknya relatif mi­nimum dari segi tata kelola pemerintahan. Soalnya, pe­ran wakil itu secara normatif ha­nya membantu peran kepala daerahnya. Peran wakil bupati biasanya hanya sebagai ban serep.

Namun, Giri mengatakan, secara politik, ini tentu akan menimbulkan kondisi tidak kondusif dalam menjalankan program-program kepala dae­rah. Apalagi, perpecahan politik ditunjukkan secara terbuka, misal di dalam implementasi program.

“Contoh adalah interpelasi DPRD Indramayu ke Bupati Indramayu. Hal ini tentu me­nimbulkan ketidakkondusif­an jalannya roda peme­rin­tah­an di Indramayu,” kata Giri.

Giri menyebutkan, peran dari partai politik penting menyelesaikan konflik tersebut. Bahkan, seharusnya, dari awal, parpol harus mampu mengurangi risiko terjadinya konflik itu. Parpol yang mengusulkan pasangan ke­pala daerah di pilkada.

Baik calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak awal pemilihan harus me­miliki pemahaman yang sama tentang tugas mereka ketika terpilih nanti. Demi­kian juga parpol yang harus terus menjaga keharmonisan pasangan yang me­reka ka­winkan.

Pertama, parpol dan pa­sangan harus memahami bahwa pemilihan paket pa­sangan pilkada harus dida­sar­kan pada kesamaan yang prinsipil, bukan hitung-hitung­an kemenangan semata, dan pembagian kekua­sa­an. Ke­dua, semua yang menjadi wa­kil kepala daerah sudah seharusnya paham, pe­ran me­reka hanya sebagai pembantu kepala daerah.

“Ekspektasi apa yang bisa dilakukan pun menjadi terbatas dan sangat bergantung pada bupatinya. Sehingga, jika memang tidak bisa mene­rima realitas tersebut dari awal, sebaiknya tidak usah mau dipasangkan dengan posisi wakil,” ujarnya.

Konflik yang sering terjadi ini tidak lantas membuat kehadiran wakil kepala daerah tidak diperlukan. Keberada­an wakil tetap perlu karena mengantisipasi potensi ke­pala daerah menjadi tidak dapat memimpin atau berhalangan tetap. “Seperti misalnya di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Kara­wang karena kasus korupsi. Juga di Kota Bandung yang wali kota-nya meninggal du­nia. Namun, yang perlu dipahami, wakil itu hanya ‘ban serep’, jadi tidak bisa lebih dari itu peran yang di­ba­yangkan,” ujarnya.

Soal waktu

Mun­durnya Lucky Hakim sebagai Wakil Bupati Indramayu sebenarnya merupa­kan antiklimaks dari ketidakharmonisan hubungan dengan Bupati Nina Agustina. Bagi warga Indramayu, mundur­nya Lucky tidak mengheran­kan karena hanya soal waktu.

“Hanya, yang terasa mengejutkan, mundurnya Lucky Hakim justru ketika sebenarnya tidak terdengar lagi riak di antara tidak harmonisnya hubungan pim­pinan daerah di Pantura Ja­wa Barat ini,” kata pengamat politik dari Indramayu, Saeful Yamien.

Setelah resmi dilantik, bulan madu Nina Agustina dan Lucky Hakim rupanya hanya seumur jagung. Tidak butuh waktu lama, keduanya kemudian berada dalam status perang dingin.

Tidak jelas penyebab pe­cah kongsi antarkeduanya. Namun, di antara pecah kong­si pimpinan daerah, konflik Nina-Lucky dinilai paling dramatik. Sejak terjadi konflik itu, Lucky Hakim tidak pernah menerima penugasan apa pun. Sampai akhirnya, pesinetron itu seperti ter­isolasi dari tugas-tugasnya sebagai wakil bupati.***

Editor: Suhirlan Andriyanto

Tags

Terkini

Terpopuler