MEMASANGKAN calon kepala daerah dan wakil kepala daerah ibarat kisah Siti Nurbaya yang dipaksa menikah dengan pasangan yang belum dikenal betul. Dalam perjalanan setelah menikah, karena tidak saling mengenal, tidak ada yang mau menurunkan ego.
Alih-alih mencari akar permasalahan dan menyelesaikan masalahnya, yang ada malah memilih pisah. Tak ada mediasi dengan pasangan atau konsultasi dengan ’orangtua’. Pilih mengalah dan menyerah.
Mungkin ini analogi yang tepat ketika menyimak kisah Lucky Hakim yang tiba-tiba memilih mengundurkan diri sebagai Wakil Bupati Indramayu. Tanpa diketahui partai pengusungnya, ujug-ujug Lucky Hakim melayangkan surat pengunduran diri kepada DPRD Kabupaten Indramayu.
Drama rivalitas yang berujung dengan perpisahan bukan lagu baru yang dipertontonkan para kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak dipilih secara langsung oleh rakyat. “Sejak awal, potensi ketidakcocokan sudah ada. Calon kepala daerah tidak bisa memilih sendiri pasangannya. Dia dipilihkan dan sering kali pilihan dari partai pengusung atau koalisi di akhir-akhir,” ujar pengamat politik Firman Manan, Selasa 14 Februari 2023.
Mau tidak mau, suka tidak suka, para kandidat harus rela dipasangkan dengan seseorang yang belum tentu langsung memiliki chemistry sebagai pasangan yang setidaknya harus mengarungi rumah tangga selama lima tahun itu. Tidak heran, ketika tidak ada kecocokan, ada yang memilih bertahan sampai habis atau menyerah kalah.
Berdasarkan regulasi, kata Firman, tidak disebutkan pemimpin daerah itu oleh dua orang. Kepala daerah itu tunggal, bisa wali kota, bupati, atau gubernur. Namun, aturan lainnya justru mengamanatkan adanya wakil kepala daerah yang bisa berbagi kekuasaan untuk mengelola daerahnya.
“Sayangnya, tidak semua kepala daerah itu mau berbagi power dengan wakil kepala daerahnya. Bagi yang tak mau berbagi, ya menyebabkan wakil kepala daerah seakan-akan nonjob meski di aturannya sudah ada pembagian tugasnya,” tutur Firman.
Wakil kepala daerah menyerah dengan bertahan, kata Firman, mungkin diam saja hingga akhir masa jabatan. Ada juga wakil kepala daerah yang tidak tahan, seperti Lucky yang memilih mundur. Tapi, ada lagi yang mungkin akan melawan.
“Mereka ini biasanya wakil kepala daerah yang sadar betul bahwa ia memiliki kontribusi yang besar atas kemenangan mereka. Misalnya, dia adalah vote getter atau berkontribusi dalam dana pemilihan sehingga menuntut kekuasaan yang sepadan,” ucap Firman.
Pragmatis
Hal senada diungkapkan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Giri Ahmad Taufik bahwa perjodohan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah di awal pemilihan sering kali hanya didasarkan pada kepentingan pragmatis dibandingkan strategis, seperti kesamaan visi misi, kesamaan program yang akan dijalankan.
“Jadi, perkawinan mereka lebih pada pembagian kekuasaan belaka sehingga jika terjadi ketidakcocokan atau salah satu pihak melangkahi perjanjian, pembagian kekuasaan ini menyebabkan perpecahan,” katanya.
Konflik itu, kata Giri, memang dampaknya relatif minimum dari segi tata kelola pemerintahan. Soalnya, peran wakil itu secara normatif hanya membantu peran kepala daerahnya. Peran wakil bupati biasanya hanya sebagai ban serep.
Namun, Giri mengatakan, secara politik, ini tentu akan menimbulkan kondisi tidak kondusif dalam menjalankan program-program kepala daerah. Apalagi, perpecahan politik ditunjukkan secara terbuka, misal di dalam implementasi program.
“Contoh adalah interpelasi DPRD Indramayu ke Bupati Indramayu. Hal ini tentu menimbulkan ketidakkondusifan jalannya roda pemerintahan di Indramayu,” kata Giri.
Giri menyebutkan, peran dari partai politik penting menyelesaikan konflik tersebut. Bahkan, seharusnya, dari awal, parpol harus mampu mengurangi risiko terjadinya konflik itu. Parpol yang mengusulkan pasangan kepala daerah di pilkada.
Baik calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak awal pemilihan harus memiliki pemahaman yang sama tentang tugas mereka ketika terpilih nanti. Demikian juga parpol yang harus terus menjaga keharmonisan pasangan yang mereka kawinkan.
Pertama, parpol dan pasangan harus memahami bahwa pemilihan paket pasangan pilkada harus didasarkan pada kesamaan yang prinsipil, bukan hitung-hitungan kemenangan semata, dan pembagian kekuasaan. Kedua, semua yang menjadi wakil kepala daerah sudah seharusnya paham, peran mereka hanya sebagai pembantu kepala daerah.
“Ekspektasi apa yang bisa dilakukan pun menjadi terbatas dan sangat bergantung pada bupatinya. Sehingga, jika memang tidak bisa menerima realitas tersebut dari awal, sebaiknya tidak usah mau dipasangkan dengan posisi wakil,” ujarnya.
Konflik yang sering terjadi ini tidak lantas membuat kehadiran wakil kepala daerah tidak diperlukan. Keberadaan wakil tetap perlu karena mengantisipasi potensi kepala daerah menjadi tidak dapat memimpin atau berhalangan tetap. “Seperti misalnya di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Karawang karena kasus korupsi. Juga di Kota Bandung yang wali kota-nya meninggal dunia. Namun, yang perlu dipahami, wakil itu hanya ‘ban serep’, jadi tidak bisa lebih dari itu peran yang dibayangkan,” ujarnya.
Soal waktu
Mundurnya Lucky Hakim sebagai Wakil Bupati Indramayu sebenarnya merupakan antiklimaks dari ketidakharmonisan hubungan dengan Bupati Nina Agustina. Bagi warga Indramayu, mundurnya Lucky tidak mengherankan karena hanya soal waktu.
“Hanya, yang terasa mengejutkan, mundurnya Lucky Hakim justru ketika sebenarnya tidak terdengar lagi riak di antara tidak harmonisnya hubungan pimpinan daerah di Pantura Jawa Barat ini,” kata pengamat politik dari Indramayu, Saeful Yamien.
Setelah resmi dilantik, bulan madu Nina Agustina dan Lucky Hakim rupanya hanya seumur jagung. Tidak butuh waktu lama, keduanya kemudian berada dalam status perang dingin.
Tidak jelas penyebab pecah kongsi antarkeduanya. Namun, di antara pecah kongsi pimpinan daerah, konflik Nina-Lucky dinilai paling dramatik. Sejak terjadi konflik itu, Lucky Hakim tidak pernah menerima penugasan apa pun. Sampai akhirnya, pesinetron itu seperti terisolasi dari tugas-tugasnya sebagai wakil bupati.***