Pengamat Bilang Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 Malah Berpotensi Memotong Upah Pekerja sehingga Harus Dicabut

- 16 Maret 2023, 15:43 WIB
Pekerja menyelesaikan produksi kain di PT Trisula Textile Industries di Cimahi, Jawa Barat, Rabu (1/3/2023).
Pekerja menyelesaikan produksi kain di PT Trisula Textile Industries di Cimahi, Jawa Barat, Rabu (1/3/2023). /RAISAN AL FARISI/ANTARA FOTO

KORAN PR - Menteri Ketenagakerjaan pada tanggal 7 Maret 2023 lalu telah menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.

Namun, pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar menilai, Permenaker ini tak memberikan insentif tetapi malah berpotensi memotong upah.

"Menurut saya Permenaker No. 5 tahun 2023 ini akan menyebabkan upah pekerja di sektor padat karya industri berorientasi ekspor akan dibayar di bawah ketentuan UMK yang berlaku. Mengenai jumlah jam kerja berkurang, ya silahkan saja tetapi upah tidak boleh di bawah upah minimum yang berlaku," kata Timboel dalam keterangan, di Jakarta, Kamis 16 Maret 2023.

Dijelaskan Timboel, inti dari Permenaker ini ada di Pasal 7 dan Pasal 8. Adapun Pasal 7 menyatakan Pemerintah menetapkan kebijakan penyesuaian upah pada perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional serta untuk menjaga kelangsungan bekerja dan kelangsungan berusaha.

Pasal 8 membolehkan perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global melakukan penyesuaian besaran upah pekerja/buruh dengan ketentuan upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa diterima.

Penyesuaian tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Pasal 9 ayat (1) menyatakan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dapat dilakukan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan.

"Pembayaran upah kepada pekerja/buruh paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa diterima, didasari oleh ketentuan Pasal 4 yang menyatakan perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat perubahan ekonomi global. Pembatasan kegiatan usaha tersebut mengakibatkan pengusaha dapat melakukan pengaturan waktu kerja yang disesuaikan dengan pembayaran upah," kata Timboel.

Adapun penyesuaian upah berlaku selama 6 bulan terhitung sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku. Timboel mengatakan, ada beberapa hal yang harus dikritisi dalam Permenker no. 5 Tahun 2023 ini.

Dikatakan Timboel, kondisi global kembali menjadi tameng alasan untuk memotong upah pekerja. Keinginan pengusaha melakukan No Work No Pay sudah lama dimintakan ke Menteri Ketenagakerjaan, dan lahirnya Permenaker no. 5 ini merupakan legalisasi persetujuan No Work No Pay tersebut.

Kemudian, mengacu pada ketentuan di UU No. 13 Tahun 2003 ketentuan No Work No Pay itu diterapkan bagi pekerja yang memang tidak mau bekerja, bukan diterapkan untuk perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha. Jadi pembatasan kegiatan usaha dan pengurangan jam kerja tidak boleh mengurangi upah pekerja.

Pasal 88E ayat (2) UU Cipta Kerja melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum. "Jadi isi Permenaker no. 5 tahun 2023 ini telah melanggar ketentuan Pasal 88E ayat (2) UU Cipta Kerja," ujarnya.

Selanjutnya, pasal 7 UU No. 12 tahun 2011 mengatur tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan ketentuan UU lebih tinggi dari Permenaker sehingga Permenaker No. 5 tidak boleh bertentangan dengan UU Cipta Kerja.

"Kalaupun dalam Permenaker mensyaratkan adanya persepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, maka tetap tidak boleh pengusaha membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Perjanjian atau kesepakatan yang melanggar isi UU harus batal demi hukum," ujar Timboel.

Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dapat dilakukan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan, adalah bentuk peniadaan dan pengingkaran fungsi dan tugas SP/B yang diatur dalam UU No. 21 tahun 2000.

"Seharusnya kesepakatan yang dibangun adalah antara SP/SB dan pengusaha, bagi perusahaan yang ada SP/SB nya," tuturnya

Menurut Timboel, isi Permenaker no. 5 tahun 2023 ini sangat rawan dimanfaatkan oleh perusahaan lain yang tidak sesuai ketentuan, mengingat peran dan tugas Pengawas Ketenagakerjaan sangat lemah selama ini.

"Saya yakin Pengawas Ketenagakerjaan tidak akan mampu mengidentifikasi perusahaan yang terdampak perubahan ekonomi global atau tidak," ucapnya.

Insentif

Bila pemerintah mau peduli bagi perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor yang terdampak pada ekonomi global, maka seharusnya pemerintah memberikan insentif bagi perusahaan terdampak tersebut sehingga bisa menurunkan beban biaya perusahaan.

Hal itu seperti pemberian insentif pajak (penurunan nilai pajak badan, pajak ekspor, pajak penghasilan, dsb) dan bantuan lainnya yang memang bisa mendukung kegiatan operasional perusahaan seperti penjadwalan ulang pembayaran utang, dsb, bukan malah menurunkan upah pekerja yang akan mempersulit pekerja/buruh mencapai penghidupan yang layak.

"Saya mendorong Menteri Ketenagakerjaan mencabut Permenaker no. 5 ini karena akan menimbulkan permasalahan bagi kehidupan pekerja/buruh, dan Permenaker ini sudah melanggar ketentuan di UU No. 13 Tahun 2003, UU Cipta Kerja dan UU No. 21 Tahun 2000. Pemerintah harus memberikan insentif pajak dan bantuan lainnya kepada perusahaan padat karya berorientasi ekspor yang memang terdampak kondisi global," katanya.***

Editor: Kismi Dwi Astuti

Sumber: Keterangan Pers


Tags

Terkini

x