Aturan Ketat, Sejumlah Usaha Jastip di Bandung Pilih Berhenti

20 Februari 2023, 06:29 WIB
Calon penumpang mengantre untuk lapor diri di konter “Chek In” Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (2/2/2023). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) selama Januari hingga Desember 2022 jumlah penumpang angkutan udara domestik sebanyak 52,6 juta orang dan jumlah penumpang internasional sebanyak 7,1 juta orang, masing-masing naik sebesar 74,81 persen dan 1.030,86 persen dibanding periode yang sama tahun 2021. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc. /MUHAMMAD IQBAL/ANTARA FOTO


KORAN PR - Sejak pemerintah memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 203/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut, beberapa usaha jasa titipan (jastip) di Bandung terpaksa berhenti.

Alasannya, pengawasan yang ketat dari petugas Bea Cukai di bandara membuat pelaku usaha jastip agak kesulitan untuk "menyembunyikan" barang titipan mereka.

Kalaupun mereka mematuhi aturan yang berlaku, kebanyakan pelanggan/teman mereka yang menitip barang akan keberatan karena harga barang menjadi lebih mahal. Aturan dan pengawasan yang semakin ketat tentang barang bawaan penumpang pun diakui para pelaku jastip sudah berlaku sejak beberapa tahun terakhir.

Sebelumnya, Kemenkeu menyatakan usaha jastip berpotensi merugikan negara karena tidak membayar pajak, bea, dan cukai. Penumpang dari luar negeri kerap mengaku barang yang dimasukkan adalah milik pribadi. Namun, sejak aturan PMK No 203/2017 diberlakukan, upaya ini sulit dilakukan.

Salah seorang pelaku jastip yang enggan disebutkan namanya menuturkan, sejak adanya aturan baru sudah tidak lagi menerima jastip. Padahal ia melakoni usaha tersebut sudah lebih dari 10 tahun bahkan hingga memiliki media sosial khusus jastip. Berbagai barang ia terima mulai dari kaos, jam sepatu, tas dan beragam lainnya.

“Sudah tidak lagi semenjak ada aturan baru,” ujarnya saat dihubungi, akhir pekan lalu. Aturan baru yang ia maksudkan adalah Permenkeu yang mengharuskan penerima barang membayar pajak untuk barang di atas Rp 1 juta. Sementara, barang yang dititipi umumnya memiliki harga di atas Rp 1 juta.

“Iya jadi sudah stop. Paling kalau kebetulan saya pulang saja tapi tidak bisa banyak,” katanya. Ia mengemukakan, untuk yang tetap membuka jastip sebetulnya tetap aman, asalkan mematuhi aturan yang ada.

Namun, ia kasihan dengan konsumennya karena harga menjadi mahal. Alasannya, pajak yang dikenakan lumayan besar, yakni 17,5% bagi yg punya NPWP dan 27,5% bagi yang tidak memiliki NPWP.

Ia memahami tujuan pemerintah menerapkan aturan tersebut yakni untuk melindungi produk dalam negeri.

Salah seorang pembeli, Siti (46), warga Ujungberung menuturkan pasar Jakarta bagus, karena setiap tahun ada dua kali Jepang Crazy Sale sehingga banyak yang titip.

"Baru tiga kali. Beli kaos, sweater, sama outer. Yah, ada tidak enaknya juga, pengen punya barang kualitas bagus, tapi tidak bisa ke luar negeri, ada jastip pasti kan jadi mudah," ujarnya.

Oleh karena itu, dia meminta agar pajak untuk barang impor tidak terlalu besar. “Kalaupun ada aturan, jangan gede-gede pajaknya. Ongkir aja udah mahal dan ditanggung pembeli. Padahal barang-barang luar negeri masuk ilegal saja, banyak jastip yang kecil-kecilan apalagi buat pekerja migran kan terbantu buat tambah-tambah dapur ngebul di negeri orang,” katanya

Keadilan

Akademisi dari Universitas Padjadjaran Prof Yudi Azis mengatakan pada prinsipnya pemerintah ingin memberikan rasa keadilan baik bagi pengusaha, konsumen, dan pihak terkait. Sebab, terdapat usaha yang merasa dirugikan karena tidak mampu bersaing dengan barang yang tidak dikenakan pajak.

Menurut dia, yang menjadi fokus adalah apakah barang yang dibawa oleh jastip adalah barang yang tidak kena pajak atau sudah kena. Alasannya, dengan aturan bahwa barang dengan harga di atas 500 dolar AS dikenakan pajak sebetulnya barang yang dititip telah dikenakan pajak.

"Bahwa barangnya sudah kena pajak sudah diatur maka kekhawatiran tidak ada fairness sudah terjawab," katanya.

Lebih lanjut, Yudi mengatakan, yang juga perlu diperhatikan adalah jangan sampai aturan pemerintah mematikan sumber ekonomi. Apalagi sebetulnya barang yang dititipkan sudah dikenakan pajak melalui cukai.

"Jika dikenakan pajak double, ya barang dan usaha bisa berdampak pada daya saing usaha karena biaya jadi besar," katanya. Yudi mengatakan perlu kajian yang menyeluruh apakah lebih banyak manfaat ketimbang dampak negatifnya.

"Apakah cukup pajak untuk barangnya saja atau perusahaan juga. Perlu kajian komprehensif. Tidak hanya sebagai income, apakah urgensi dari usaha jastip ini dipajak banyak manfaat atau ketidakmanfaatannya," katanya. ***

Editor: Kismi Dwi Astuti

Tags

Terkini

Terpopuler