Dalam memilih sebuah kata untuk dijadikan sapaan umum, masyarakat Sunda berpegang teguh pada nilai-nilai kesopanan. Prinsipnya dalam bertutur sapa, masyarakat Sunda ingin ngagenahkeun haté batur ‘menyenangkan hati orang lain’. Tentu saja seyogianya ini menjadi nilai-nilai moral yang hakiki dalam kehidupan manusia di mana pun.
Untuk menentukan kata mana yang dapat digunakan sebagai bakal kata sapaan umum untuk orang kedua, hal penting yang harus dicermati adalah cakupan makna “umum” dan “demokratis”-nya, di samping tentu saja kata tersebut terdengar tidak asing di telinga masyarakat Sunda itu sendiri.
Dalam rentang kehidupan bahasa Sunda dikenal kata sapaan berikut, mulai dari yang paling kasar hingga ke yang paling halus: sia, manéh, (s)ilaing, di dinya, awak, anjeun, dulur, sadérék, hidep, andika, salira, sampéan, agan, juragan, gamparan, pangaulaan, dampal gamparan, dampal dalem, dan dampal gusti.
Dari senarai kata tersebut, Perdanakoesoemah (1957), dengan berbagai pertimbangan kritis, pernah mengusulkan penggunaan salira sebagai kata sapaan umum. Menurutnya, kata salira mencakupi rasa adil dan demokratis itu. Namun, tentu saja semua berpulang ke masyarakat Sunda kini sebagai pemiliknya. Atau mungkin juga ada kata lain dari basa wewengkon (dialek) yang memiliki muatan makna seperti yang diharapkan oleh semua pihak supaya peristiwa serupa tidak terulang lagi. Apalagi, sampai mengendurkan semangat menggunakan bahasa Sunda. Cag! ***