Hanya pada saat itu kebutuhannya belum begitu mendesak. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan kepentingan berkomunikasi, masyarakat Sunda perlu mempertimbangkan kembali keinginan mulia tersebut.
Penggunaan manéh yang semestinya
Lalu, bagaimana sesungguhnya kata manéh ini digunakan? Dalam Kamus Basa Sunda karya R. Satjadibrata (1954), kata manéh diberi keterangan sebagai padanan dari kata halus manten dengan penjelasan gaganti ngaran jelema kadua atawa nuduhkeun diri pribadi ‘pengganti nama orang kedua atau menunjukkan diri pribadi’.
Juga, kata manéh dapat bersanding dengan kata lain, seperti dalam ungkapan ku mamanéh ‘bukan karena pertolongan orang lain’, mawa manéh ‘tidak mau mendengar nasihat orang lain’, nyoo manéh ‘tidak manja’, dan maéhan manéh ‘bunuh diri’.
Coolsma (1908) menegaskan manéh merupakan kata ganti orang kedua tunggal, digunakan baik kepada pria maupun wanita, di samping kata ganti orang kedua lainnya, seperti sia, (s)ilaing, kita, andika, hidep, sampéan, anjeun, dan gamparan. Menurutnya, manéh lebih banyak digunakan untuk menyapa bawahan, baik kepada laki-laki maupun perempuan, tua ataupun muda, terutama kepada mereka yang sudah dekat.
Kats & Soeriadiradja (1927) dalam membicarakan kata manéh mengaitkannya dengan tingkat tutur (speech levels). Pada masa lalu bahasa Sunda memiliki tingkat tutur atau undak-usuk basa, yang mencakup lima tingkatan: kasar pisan ‘kasar sekali’, kasar ‘kasar’, panengah ‘sedang’, lemes ‘halus’, dan lemes pisan ‘halus sekali’. Kata manéh termasuk pada tingkatan kasar untuk menyapa kawan bicara, sebagai imbangan sapaan untuk pembicara (orang pertama tunggal) déwék, urang, kami, atau kula.
Keluhuran budi
Begitu sulitkah menemukan kata sapaan yang dapat digunakan secara umum? Sebetulnya tidaklah demikian. Namun, dalam berkomunikasi, masyarakat Sunda sangat memperhatikan kawan bicara dan siapa yang dibicarakan, baik yang berkaiatan dengan strata sosial, usia, maupun kedudukan.