Produksi Virtual di Australia: Memaksimalkan Teknologi dalam Pembuatan Film di Era Perubahan

- 3 Maret 2023, 20:57 WIB
Diskusi Produksi Virtual di Australia: Pembuatan Film di Era Perubahan, di Co&Co, Jalan Dipati Ukur, Kota Bandung, Rabu 1 Maret 2023.*
Diskusi Produksi Virtual di Australia: Pembuatan Film di Era Perubahan, di Co&Co, Jalan Dipati Ukur, Kota Bandung, Rabu 1 Maret 2023.* /Windy Eka Pramudya

KORAN PR - TAK dapat dimungkiri, perkembangan teknologi turut memengaruhi industri sinema dunia. Banyak hal yang mungkin mustahil atau sulit dilakukan bisa tercipta berkat teknologi.

Di dunia film, kita mengenal istilah efek spesial yang melengkapi kebutuhan visual produksi film. Di sinilah, salah satunya, teknologi memiliki peran penting.

Associate Head of School, Partnerships and Engagement, di School of Communication and Creative Arts di Deakin University, Australia Victoria Duckett menjelaskan, banyak produksi film di Australia yang memaksimalkan teknologi. Salah satunya Fires, miniseri yang dirilis pada 2021.

Menurut Victoria, untuk menampilkan adegan kebakaran hutan yang dramatis, tim produksi Fires menggabungkan realita dan gambar digital. Mereka juga memakai green screen di studio.

"Tim produksi 'Fires' membuat ulang lokasi kebakaran dengan teknologi. Mereka memakai green screen, banyak kamera, dan gambar yang sesungguhnya, yang kemudian digabungkan untuk menghasilkan adegan per adegan," ungkap Victoria diskusi Produksi Virtual di Australia: Pembuatan Film di Era Perubahan, di Co&Co, Jalan Dipati Ukur, Kota Bandung, Rabu 1 Maret 2023.

Victoria menyebutkan, banyak film produksi Hollywood yang memaksimalkan teknologi. Misalnya The Batman (2022) yang menampilkan langit golden hour dengan sentuhan teknologi. Hasilnya, warna langit seperti permen kapas.

Akan tetapi, kata Victoria, ada banyak elemen yang tidak bisa digantikan teknologi, yaitu akting aktor dan aktris. Memang, visual kerumunan manusia untuk film-film kolosal bisa disiasati dengan teknologi, tapi tidak dengan akting yang detail dari para pemeran.

"Ekspresi dan gestur aktor tidak bisa digantikan teknologi. Selain itu, diperlukan kelihaian aktor untuk berakting dengan teknologi, misalnya saat berada di green screen. Ini juga membutuhkan arahan sutradara dan artistik yang mengatur properti," tutur Victoria.

Menurut Victoria, pada dasarnya teknologi tidak akan menggantikan proses produksi yang sesungguhnya, tapi akan saling melengkapi. Terutama untuk yang detail dan mendukung atmosfer film, seperti suasana matahari terbenam.

Saat ini, di tengah pesatnya artificial intelegent (AI), industri sinema juga terkena dampaknya. Akan tetapi, menurut Victoria, kembali ke ini sifatnya yang melengkapi.

"Kita tetap butuh sesuatu yang nyata. Banyak hal yang bisa dieksplorasi. Proses pembuatan film tetap memerlukan lokasi yang riil dan akting para aktor yang mumpuni," ucap Victoria.

Victoria menyebutkan, yang sulit saat produksi virtual adalah ketika praproduksi. Pasalnya, filmmaker harus membangun dan menyiapkan banyak hal sedetail mungkin. Seluruh kru dan pemain yang terlibat harus tahu posisi dan perannya.

"Film adalah hasil kerja tim. Proses kolaborasi semua elemen membuat para pembuat film harus bekerja sama," ujar Victoria yang merupakan Wakil Direktur Deakin Motion Lab.

Diskusi bersama Victoria menjadi rangkaian Festival Senima Australia Indonesia (FSAI) 2023. Menampilkan film-film terbaik dari Australia dan Indonesia, FSAI hadir di bioskop mulai 24 Februari hingga 18 Maret 2023.

Film-film diputar antara lain film drama biografi Penguin Bloom, Moon Rock for Monday, The Drover's Wife: The Legend of Molly Johnson, dan film komedi animasi Peter Rabbit 2: The Runaway. FSAI 2023 juga menampilkan dua film yang diproduseri oleh alumni Australia Mira Lesmana, yaitu drama menegangkan Paranoia dan kisah mudik Humba Dreams. ***

Editor: Kismi Dwi Astuti


Tags

Terkini

x