Priangan dalam Lintasan Zaman (2): Daerah Taklukan dan Daerah Sumbangan untuk VOC

15 Februari 2023, 21:30 WIB
Lukisan berjudul /KITLV

KORAN PR - Tak lama setelah merebut Jakarta, pada tahun 1619, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoen Coen, secara sepihak, memutuskan bahwa batas wilayah kekuasaan Kompeni berada di antara Sungai Cisadane dan Citarum. Akan tetapi, pengakuan secara resmi baru didapat pada tahun 1677. Penguasa Mataram, Sultan Amangkurat II menandatangani traktat yang telah dirintis oleh sang ayah, Sultan Tegalwangi (Amangkurat I) pada tahun 1652.

Sebagaimana dicatat oleh JKJ de Jonge dalam karyanya De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie Jilid VII (1873), diputuskan bahwa batas wilayah Kompeni adalah Sungai Ontongh-Jawa (Tjidani; Cisadane) di barat dan Carwangh (Karawang; Citarum). Informasi ini juga dicatat oleh Otto van Rees dalam karyanya, Overzigt van de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen (1880).

Selanjutnya, Amangkurat II menegaskan batas-batas tersebut secara tertulis disertai tambahan wilayah kepada VOC sebagai “pernyataan rasa bersalah” (schuldige danckbaerheit). Wilayah itu berada di antara Sungai Citarum dan Cipamanukan.

Dengan demikian, melalui traktat tertanggal 19-20 Oktober 1677 itu, wilayah kekuasaan VOC bertambah luas. Wilayah itu meliputi Kampungbaru (Bogor; Buitenzorg), Cianjur, Jampang, Ciblagong (Cibalagung), Cikalong, Karawang, Wanayasa, Adiarsa, Ciasem, Pamanukan, Pagaden, Bandung, Timbanganten, Batulayang, dan Parakanmuncang. Bahkan, menurut van Rees, bisa jadi, wilayah kekuasaan VOC juga mencakup Sumedang, Limbangan, dan Sukapura.

Baca Juga: Priangan Dalam Lintasan Zaman (1): Sunda yang Sempat Hilang

Soal Sumedang, terjadi perbedaan pendapat di antara para sarjana. J. Hageman, dalam beberapa edisi Tijdschrift voor Indische Taal- , Land-, en Volkenkunde, menyatakan bahwa Sumedang tidak diberikan secara resmi kepada VOC pada tahun 1677, tetapi pada tahun 1705. Sementara van Rees menduga, wilayah yang diserahkan pada tahun 1705 itu adalah Limbangan, Sukapura, dan Galuh yang baru saja menyandang status kabupaten (regentschappen) bentukan Pakubuwana I (Pangeran Puger).

Terlepas dari perdebatan itu, menurut Jacob Wouter de Kleine, dalam karyanya Het Preangerstelsel (1677-1871) en Zijn Nawerking (1931), memang terjadi penyerahan wilayah dari Mataram kepada VOC pada tahun 1677 dan 1705 tersebut. Alhasil, maskapai dagang berhasil menguasai wilayah yang --pada dekade 1930 (ketika de Klein menulis karyanya)-- meliputi Afdeeling Barat, Tengah, dan Timur Priangan, Buitenzorg, Karawang, bagian barat Indramayu, dan bekas Kabupaten Tangerang di sebelah barat Batavia.

Momentum penyerahan wilayah pada 1677 itu juga dicatat dalam sebuah babad dari Cirebon, sebagaimana dicatat oleh KF Holle dalam karyanya yang berjudul “Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen”. Karya ini dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde Jilid 17 (1869).

Dinyatakan bahwa, ”Setelah pelantikan sultan, sang patih, Raden Adipati Sindureja, meminta bantuan kepada Kompeni dan uangnya. -- Namun, Trunajaya, sudah mengada-ada. --Masih ada (utang sebesar) 600.000 (rijkdaalder) yang belum dibayar kepada Kompeni. Sesuai dengan perjanjian, wilayah barat Priangan pun diserahkan kepada Kompeni pada masa Jenderal Johannis Kamphuijs, yang atasannya adalah Laksamana de Wilde. Selain itu, Sunan juga menyerahkan 12 penduduk (ajeg) kepada Kompeni…dan 12 penduduk dari jantung Mataram dan sekitarnya diserahkan kepada Kompeni.”

Berdasarkan babad tersebut, menurut de Klein, pada tahun 1677 itu, wilayah Priangan baru “dijanjikan” untuk diserahkan kepada Kompeni. Akan tetapi, informasi ini sangat layak untuk diragukan. Pasalnya, penulis babad sama sekali tidak membedakan antara wilayah yang “direbut” (afgestane) oleh Kompeni dan wilayah-wilayah yang “disumbangkan” (geschonken) kepada Kompeni. Padahal, sejak awal, pejabat VOC sudah membedakan dua kategori tersebut. Gubernur Jenderal Hendrick Zwaardecroon (memerintah pada periode 1718-1725), misalnya, menyebut ”Kerajaan Jakarta Milik Kompeni” ('s Compagnies eygen Coningrijk Jacatra) sebagai lawan dari ”wilayah Priangan yang disumbangkan” (gedonateerde Preangerlanden).

Dengan demikian, dalam pandangan Kompeni, Jakarta merupakan daerah yang ”ditaklukkan dengan pedang” (met den zwaarde geconquesteerd) sehingga tidak harus mengakui apa pun hukum publik dan privat di sana, sebagaimana dikonfirmasi melalui resolusi tahun 1686.

Namun, di daerah-daerah yang “disumbangkan”, Kompeni harus menghormati lembaga-lembaga hukum rakyat, sebagaimana termaktub di dalam dalam resolusi 1708. Meskipun demikian, dalam praktiknya, sebagaian dicatat de Klein, Kompeni memperlakukan kedua jenis wilayah itu dengan cara yang sama.

**

LIMA puluh tahun pertama setelah “proklamasi” Coen, Kompeni dapat dikatakan tidak peduli terhadap daerah pedalaman. Setelah ditandatanganinya perjanjian pada tahun 1677, barulah sikap itu berubah.

Pada 1678, Kompeni membangun sebuah benteng di Tanjungpura, Karawang. Pada tahun 1681, anggota Raad van Justitie di Batavia, van Dijk, menempuh perjalanan darat dari Batavia ke Cirebon.

Sebagaimana dicatat van Rees, dia menyatakan bahwa, ”Banyak pemimpin Jawa, seperti dari Sumedang, Galuh, Parakanmuncang, Sukapura, Bandung, dan yang lainnya, menyatakan sumpah setia kepada Sunan dan Kompeni.”

De Klein tetap bertahan pada pendapat bahwa Galuh dan Sukapura tidak diserahkan oleh Mataram kepada Kompeni hingga tahun 1705. Oleh karena itu, pernyataan van Dijk tentang “menyatakan sumpah setia” tidak ada hubungannya dengan konsekuensi hukum. Pernyataan setia itu harus dikaitkan dengan kenyataan bahwa isi perjanjian pada 1677 itu.

Pada tahun 1684, Raad van Indie menugaskan Joan van Hoorn dan Jacob Couper untuk membuka hubungan dengan Indramayu dan Karawang. Belakangan, hanya Jacob Couper yang menjalankan tugas itu. Sebagaimana dicatat de Jonge, Couper juga bermaksud menjadikan sebagian besar wilayah di dataran tinggi Priangan dan Galuh berada di bawah perintah dan tanggung jawab Kompeni.

Untuk keperluan itu, Couper memanggil para pemimpin wilayah tersebut ke Cirebon. Berdasarkan kuasa yang didelegasikan kepadanya, Couper menerbitkan peraturan untuk tujuh pemimpin daerah pada tanggal 15 November 1684.

Ketujuh pemimpin daerah itu adalah ”Pangeran Sumedang”, ”Demang Timbanganten”, ”Tumenggung Sukapura”, ”Tumenggung Goelongan (Galunggung?)”, ”Gubernur Imbanagara”, ”Gubernur Kawasen”, dan Lura Bojonglopang”. Melalui peraturan ini, mereka diperintahkan “...untuk memerintah penduduk, di bawah wewenang Kompeni dan Sunan, berdasarkan hukum lama mereka, tradisi, dan hak istimewa, tanpa merekrut (menarik) seorang penduduk kampung atau desa pun, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari wilayah lain.

De Klein memberikan catatan, kalimat terakhir dari peraturan itu menegaskan bahwa pada saat itu, para pemimpin daerah harus berjuang dengan apa yang disebut ”kehilangan dan pembelotan” penduduk. Kelak, pada abad ke-18, perilaku ini akan diancam hukuman berat oleh Kompeni.

Khusus untuk peraturan untuk Pangeran Sumedang, Sunan Mataram tidak lagi disebutkan. Berdasarkan catatan van Rees, sang penguasa Sumedang sempat meminta klarifikasi kepada Kompeni. Tanpa diduga, Kompeni menyatakan bahwa Pangeran Sumedang dapat menolak perintah Mataram “sebagaimana sebelumnya, kecuali seizin Kompeni”.

Pada 1686, VOC akhirnya memutuskan untuk mengumumkan perjanjian tertanggal 20 Oktober 1677. Berdasarkan Daghregister 17 April 1686, diputuskan bahwa wilayah itu diserahkan oleh Sunan pada tahun 1677 sebagai, “wilayah milik Kompeni untuk dijaga dan selanjutnya, mulai saat ini, semua bupati bawahan (Subalterne Regenten) diperintah oleh Kompeni dan wajib patuh.

Pengumuman itu dibuat dalam dua edisi. Pertama, pada tanggal 17 April 1686, untuk wilayah “Jakarta yang ditaklukkan”. Kedua, pada 15 Mei 1686, untuk wilayah-wilayah “yang diberikan”. Itulah hari dimulainya dominasi aktual Kompeni terhadap wilayah Priangan.***

Editor: Hazmirullah

Tags

Terkini

Terpopuler