Priangan Dalam Lintasan Zaman (1): Sunda yang Sempat Hilang

15 Februari 2023, 18:22 WIB
Peta Wilayah Priangan /Buku Priangan I, De Haan (1910)

KORAN PR - De Javanen seijden ons, dat de Coninck van Padjadjaran die had laten maken en dat daer een van zijn groote negorijen hadde geweest. (‘Orang-orang Jawa mengatakan kepada kami bahwa semua itu dibuat oleh raja Pajajaran dan di situlah terletak salah satu negerinya yang besar’). Demikian sekelumit laporan Sersan Scipio setelah memimpin ekspedisi pengenalan wilayah kekuasaan VOC pada tahun 1687. Wilayah itu “direbut” dari Kesultanan Banten, tiga tahun sebelumnya.

Scipio beserta rombongan yang merupakan “pasukan pekerja” (werktroep) berangkat dari Benteng Batavia pada 21 Juli 1687 dan kembali pada tanggal 23 Desember 1687. Laporan ini kemudian disampaikan kepada Gubernur Jenderal VOC periode 1684-1691, Johannes Camphuijs untuk kemudian diteruskan kepada atasannya di Negeri Belanda.

Laporan Scipio ini kemudian digunakan oleh Saleh Danasasmita untuk “Mencari Gerbang Pakuan” (2014). Menurut dia, tujuan utama ekspedisi Scipio sebenarnya adalah untuk menelusuri Sungai Cisadane hingga ke pesisir selatan, sebagai tindak lanjut perjanjian Banten-VOC pada tahun 1684. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang, secara tak sengaja, mereka malah bertandang ke “benteng Pajajaran”.

Dalam perjalanan dari Parung Angsana menuju Cipaku, ia melewati jalanan yang bersih. Di sana, terdapat banyak sekali pohon buah-buahan dan adanya reruntuhan parit sehingga ia menduga bahwa daerah itu pernah dihuni.

Hanya, di dalam laporan ekspedisi itu, Scipio sama sekali tak mencatat adanya penduduk di daerah tersebut. Meskipun demikian, ia memperoleh informasi dari “orang-orang Jawa” yang menyertainya bahwa “semua itu (parit) dibuat oleh raja Pajajaran dan di situlah terletak salah satu negerinya yang besar”.

**

DI dalam laporannya, Scipio mencatat “orang-orang Jawa”. Padahal, kemungkinan besar, orang-orang yang memberikan informasi kepadanya itu adalah orang Sunda. Saleh Danasasmita pun menemukan kenyataan bahwa di dalam dokumen-dokumen VOC, terutama pada abad ke-17 dan ke-18 Masehi, “Sunda” selalu disebut dengan “Jawa”.

Informasi ini selaras dengan temuan John Joseph Stockdale, dalam karyanya Sejarah Tanah Jawa, bahwa “penduduk pribumi (Pulau Jawa) kesemuanya disebut sebagai ‘orang Jawa’, baik mereka yang merupakan penduduk Kesultanan Banten atau bagian lain dari Jawa”.

Tak hanya itu, belakangan, ditemukan pula kenyataan bahwa orang Sunda disebut sebagai “orang Jawa Gunung” (Berg Javanen). Menurut S.I. Poeradisastra, dalam artikel berjudul “Changing Views of the Sundanese Aristocracy” (1979), orang Sunda tak suka dengan sebutan itu.

“Mereka mengaku bukan bagian dari orang-orang Jawa, tetapi hanya memiliki budaya khas yang, secara kebetulan, mirip dengan kebudayaan Jawa,” tulis Poeradisastra.

Meskipun demikian, Thomas Stamford Raffles --dalam karyanya yang masyhur, the History of Java-- menyatakan, apa pun pendapat mengenai asal usul leluhur penduduk Jawa dan pulau sekitarnya, yang jelas, memang ada kemiripan kuat dalam bentuk fisik, bahasa, dan kebiasaan para penduduk kepulauan (khususnya di wilayah Indonesia kini).

Hal itu membuktikan bahwa, pada masa lampau, mereka berasal dari tempat yang sama. Beberapa perbedaan budaya itu hanya sebagai akibat dari “pemisahan” yang terjadi pada zaman baheula, kondisi lokal, dan juga interaksi dengan pedagang asing, pendatang, atau penduduk lain.

Dapat dikatakan bahwa Sunda sempat “hilang” dari catatan kolonial. Tak hanya orangnya (karena disebut “Jawa”), tetapi juga bahasanya. Salah satu buktinya, ketika prasasti Batutulis ditemukan pada tahun 1690 (melalui ekspedisi lanjutan yang dilakukan oleh Adolf Winkler), tak seorang pun mengetahui aksara Sunda Kuno yang tertatah di sana, apalagi membaca dan memahami isinya.

Menurut Jacob Wouter de Klein, dalam karyanya Het Preangerstelsel (1677-1871) en Zijn Nawerking (1931), bahasa Jawa merupakan bahasa bahasa pengantar di seluruh wilayah Kesultanan Mataram, termasuk “Jawa Barat”, dan tetap bertahan hingga abad ke-19 Masehi.

**

PENYEBUTAN “Jawa” untuk penduduk yang berasal dari dua etnis berbeda itu bukanlah tanpa sebab. Jan Breman, dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870 (2014), menduga bahwa itu terjadi karena VOC menyatakan bahwa tanah Priangan, sampai jauh abad ke-19 Masehi, merupakan daerah yang masih berciri frontier. Kualifikasi itu terutama didasarkan kepada kenyataan akan jarangnya penduduk yang ditemui oleh VOC pada saat menduduki dataran tinggi Priangan.

Tim ekspedisi yang dikirim ke sana mengabarkan bahwa daerah itu merupakan daerah pegunungan dan lembah yang sulit ditembus. Hutan-hutan lebat dan rawa-rawanya dipenuhi oleh segala jenis binatang liar. Harimau dan badak merupakan jenis-jenis binatang yang selalu tercatat dalam daftar para penjelajah awal karena ancamannya terhadap manusia dan tanaman.

Langkanya permukiman yang ditemui di daerah pedalaman memberikan “kosong” dan “miskin”. Kondisi itu pun tercipta di kota atau pedukuhan utama, tempat kedudukan bupati, yang hanya berpenduduk beberapa ratus orang. Itu pun hampir semuanya merupakan bagian dari keluarga bupati.

Soal ini, Raffles pun mencatat bahwa daerah-daerah Priangan tidak dihuni oleh banyak manusia. Hal itu lantaran letaknya yang jauh di pedalaman, apalagi dengan kontur yang berupa pegunungan. Sama sekali tidak ditemukan perkebunan berukuran luas di sana. Bahkan, banyak di antaranya dibiarkan ditumbuhi rumput dan ilalang yang tinggi. Alhasil, dalam beberapa waktu, daerah Priangan tidak menjadi sasaran kebijakan opresif pemerintah kolonial.

Dalam jangka waktu yang cukup panjang, bahkan hingga abad ke-19, wilayah Priangan --terutama di bagian selatan-- dapat dikatakan tidak berpenghuni. Berdasarkan catatan Andries de Wilde, sebagaimana termaktub dalam bukunya De Preanger Regentschappen op Java Gelegen (1830), menyebutkan “di distrik-distrik di selatan yang membentang hingga ke laut, seseorang dapat menempuh perjalanan selama berjam-jam tanpa menemukan satu pun rumah atau seorang pun penduduk”. Demikianlah Priangan, kala itu.***

Editor: Hazmirullah

Tags

Terkini

Terpopuler