Oleh:
Dikdik Dahlan Lukman
Pembimbing Haji dan Umrah Qiblat Tour,
Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung
MENDENGAR kata ihram, bagi sebagian orang selintas yang terbayang adalah dua lembar kain panjang berwarna putih mulus tanpa jahitan yang dikenakan oleh seorang pria di tengah debu padang pasir. Selembar dipergunakan untuk menutupi tubuh bagian bawah terutama dari pusar sampai kaki tidak lebih dari mata kaki. Selembar lagi dipergunakan untuk menutupi tubuh bagian atasnya yang diselendangkan dari satu bahu ke bahu lainnya.
Secara bahasa, ihram terambil dari kata ha-ra-ma yang memiliki dua pengertian, yaitu sesuatu yang terlarang atau sesuatu yang terhormat. Dalam fiqih haji dan umrah, ihram adalah keadaan seseorang yang telah berniat untuk melaksanakan ibadah haji dan atau umrah. Dalam ibadah umrah, keadaan ihram dimulai sejak melafadkan niat di tempat tertentu (miqat) dan berakhir setelah sempurna melaksanakan sai yang ditandai dengan tahalul, yaitu memotong rambut di bukit marwah.
Seseorang yang akan melaksanakan umrah disunatkan terlebih dahulu membersihkan badannya dengan memotong kuku, bulu-bulu, dan mandi janabat (mandi besar). Setelah itu dilanjutkan dengan mengenakan pakaian ihram dan kemudian merapat ke tempat yang sudah ditentukan oleh Allah swt dan rasulnya.
Terkait dengan pakaian ihram, bagi laki-laki dilarang mengenakan pakaian yang membentuk lekuk tubuh dan berjahit, seperti kemeja, kaos dalam, celana dalam, celana pendek, maupun celana panjang. Juga laki-laki dilarang menutup kepala dengan topi atau peci saat berihram. Demikian juga dengan alas kakinya, laki-laki dilarang menggunakan sepatu, melainkan cukup sendal atau sepatu yang tidak menutup mata kaki dan jemarinya.
Sementara untuk perempuan, pakaian ihramnya adalah pakaian yang memenuhi syarat dan pantas untuk dipakai salat. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda : “Hendaknya wanita yang sedang berihram tidak mengenakan cadar dan sarung tangan.” (HR. Bukhari).
Adapun tempat tempat pengucapan niat yang sekaligus sebagai tempat memulai ihram diantaranya dijelaskan dalam hadis berikut ini : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menentukan miqat bagi penduduk Madinah, yaitu Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam, yaitu Juhfah, bagi penduduk Najd, yaitu Qarnul Manazil dan untuk penduduk Yaman, yaitu Yalamlam.
Beliau mengatakan, “Semua itu adalah bagi penduduk kota-kota tersebut dan orang yang bukan penduduk kota-kota tersebut yang melewati kota-kota tersebut, yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Dan bagi orang yang lebih dekat dari kota-kota itu, maka ia memulai ihram dari tempatnya, sampai penduduk Mekah memulai ihram dari Mekah.”
Seseorang yang sudah berpakaian ihram dan berada di salah satu tempat di atas, bersegara untuk melafadkan niat umrahnya. Beriringan dengan pengucapan niat umrah itu, seketika seseorang itu masuk dalam keadaan atau kondisi ihram. Sepanjang dalam kondisi ihram ini terdapat beberapa anjuran dan serangkaian larangan.